Stay in touch
Subscribe to our RSS!
Oh c'mon
Bookmark us!
Have a question?
Get an answer!

MAKALAH TEKNIK MENGAJAR DENGAN PENDEKATAN LINGKUNGAN ALAM SEKITAR

0 komentar
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr.Wb.
Segala puji bagi Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat, taufiq dan hidayah-Nya kepada kita semua, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas kelompok ini dengan judul “TEKNIK MENGAJAR DENGAN PENDEKATAN LINGKUNGAN ALAM SEKITAR’’ tepat pada waktunya.
Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada dosen kami Vidya Pratiwi, S.Pd, rekan-rekan sahabat, dan semua pihak yang turut membantu dalam penyusunan makalah ini, yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
Penulis mengharapkan adanya kritik dan saran yang sifatnya membangun, guna memperbaiki dan menyempurnakan makalah ini.
Secerah harapan yang senantiasa digantungkan, mudah-mudahan makalah ini dapat bermanfaat bagi penyusun khususnya dan umumnya bagi yang senantiasa membaca.
Wassalamu’alaikum Wr.Wb.




Situbondo, 01 Desember 2013



Penulis




BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Program peningkatan mutu pendidikan akan dapat tercapai apabila didukung oleh para guru dengan melaksanakan proses pembelajaran di kelas yang berlangsung baik, berdaya guna dan berhasil guna. Hal ini harus ditunjang oleh adanya kemampuan guru yang memadai, sebab gurulah yang berperan langsung dalam mengajar, mendidik dan melatih para siswa, serta guru pulalah yang sangat berperan dalam meningkatkan mutu penidikan siswa-siswanya. Selain itu guru dipandang sebagai faktor kunci yang setiap hari berhadapan langsung dengan muridnya. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya guru dalam dunia pendidikan.
Media lingkungan alam sekitar sebagai pendidikan di luar ruangan kelas yang berkaitan terutama dengan penggunaan/pemanfaatan sumber daya alam (Lily Barlia, 2008 : 4). Alam sekitar sebagai fundamen pendidikan dan pengajaran memberikan dasar emosiaonal, sehingga anak menaruh perhatian yang spontan terhadap segala sesuatu yang diberikan kepadanya asal itu didasarkan atas dan diambil dari alam sekitar.
Secara harfiah, pembelajaran dengan pendekatan lingkungan sekitar dapat diartikan sebagai proses belajar mengajar yang berorientasi kepada dan berlangsung di lingkungan alam sekitar.
Berdasarkan tujuannya, proses proses pembelajaran dengan pendekatan lingkungan alam sekitar dapat didefinisikan sebagai penggunaan atau pemanfaatan fasilitas-fasilitas yang ada di lingkungan alam sekitar sekolah (Lily Barlia, 2008 : 5). Pendidikan dengan pendekatan lingkungan sekitar, dapat membantu pemenuhan kebutuhan pengetahuan anak didik, juga dapat meningkatkan hasil belajar siswa.


1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Apa pengertian dari pendekatan lingkungan alam sekitar dan bagaimana konsepnya ?
1.2.2 Model apa saja pembelajaran alam sekitar ?
1.2.3 Teknik apa saja mengajar dengan pendekatan lingkungan alam sekitar ? serta apa saja kelebihan dan kekurangannya ?





BAB 2 PEMBAHASAN
2.1Pengertian dan Konsep Pendekatan Lingkungan Alam Sekitar
Beberapa pendapat mengenai pengertian dan konsep pendekatan lingkungan adalah sebagai berikut:
a) Karli H dan Margaretha (2002: 97), mengatakan bahwa: “pendekatan lingkungan adalah suatu strategi pembelajaran yang memanfaatkan lingkungan sebagai sasaran belajar, sumber belajar, dan sarana belajar. Hal tersebut dapat dimanfaatkan untuk memecahkan masalah lingkungan, dan untuk menanamkan sikap cinta lin-kungan”.
b) Rustaman N (2005:94) mengatakan bahwa “Penggunaan pendekatan lingkungan berarti mengaitkan lingkungan dalam suatu proses belajar mengajar. Lingkungan digunakan sebagai sumber belajar “.
c) Hadiat (1976: 197) mengatakan bahwa: “Pendekatan lingkungan ialah pendekatan melalui lingkungan anak, mendasarkan pelajaran atas keadaan tempat sehari-hari anak-kebun, sawah, hutan, sungai, kampung, industri, alat-alat rumah dan lain sebagainya. Bahan pelajaran disusun atas dasar lingkungan itu”.
d) Nasution N (2000: 5.26), mengatakan: “Pendekatan lingkungan atau karyawisata adalah pendekatan yang berorientasi pada alam bebas dan nyata, tidak selalu harus ke tempat yang jauh, dapat dilakukan di alam sekitar sekolah”.
Dari beberapa pendapat tersebut di atas dapat dikatakan bahwa pengajaran dengan menggunakan pendekatan lingkungan itu esensinya adalah menggunakan atau memanfaatkan lingkungan siswa sebagai sumber belajar untuk keperluan pengajaran dalam rangka mencapai tujuan pembelajaran. Dalam pelaksanaannya dapat membawa kelas ke lingkungan dan dapat juga lingkungan dibawa ke sekolah. Ini berarti bahwa pengajaran akan memanfaatkan lingkungan sebagai sumber belajar dalam rangka mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan.
Mengenai sumber belajar ini Donald P (dalam Sudjana N & Rivai A, 1997 80) mengatakan bahwa: “sumber belajar itu meliputi: pesan (message), manusia (people), bahan (materials), peralatan (device), teknik metode (technique), dan lingkungan (setting)”. Lingkungan sebagai sumber belajar dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu lingkungan sebagai sumber belajar yang dirancang dan lingkungan sebagai sumber belajar yang dimanfaatkan. Contoh lingkungan sebagai sumber belajar yang dirancang antara lain ruangan kelas, studio, perpustakaan, auditorium, laboratorium, aula, bengkel kerja dan sebagainya. Sedangkan lingkungan sebagai sumber belajar yang tidak dirancang antara lain taman, pasar, kebun, sawah, sungai, selokan, kolam, hutan, pabrik, warung, TPA sampah dan sebagainya.
Pemanfaatan lingkungan dalam pengajaran mempunyai keuntungan praktis dan ekonomis. Keuntungan praktis karena mudah diperoleh, sedangkan keuntungan ekonomis karena murah dan dapat dijangkau oleh seluruh siswa. Dengan memanfaatkan lingkungan sekaligus juga memanfaatkan kepedulian siswa untuk mencintai lingkungan belajarnya. Hal ini akan lebih terasa bermakna, bermanfaat dan langsung dapat dirasakan oleh siswa. Dengan demikian baik sekolah yang sudah mempunyai laboratorium lengkap maupun yang sama sekali belum memiliki laboratorium, sama-sama dapat memanfaatkan laboratorium alam sebagai salah satu alternatif proses belajar, terlebih-lebih bagi konteks materi pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan di sekolah

2.2 Model Pembelajaran Alam Sekitar
Joyce dan Weil (2000) mengemukakan ada empat kategori yang penting diperhatikan dalam model mengajar, yakni model informasi, model personal, model interaksi dan model tingkah laku.
1. Model pemrosesan informasi (Information Processing Models) menjelaskan bagaimana cara individu memberi respon yang datang dari lingkungannya dengan cara mengorganisasikan data, memformulasikan masalah, membangun konsep dan rencana pemecahan masalah serta penggunaan simbol-simbol verbal dan non verbal. Karena itu model ini potensial untuk digunakan dalam mencapai tujuan-tujuan yang berdimensi personal dan sosial
2. Model personal (Personal Family) merupakan rumpun model pembelajaran yang menekankan kepada proses pengembangkan kepribadian lingkungan siswa dengan memperhatikan kehidupan emosional
3. Model sosial (Social Family) menekankan pada usaha mengembangkan kemampuan siswa agar memiliki kecakapan untuk berhubungan dengan orang lain sebagai usaha membangun sikap siswa yang demokratis dengan menghargai setiap perbedaan dalam realitas sosial.
4. Model sistem perilaku dalam pembelajaran (Behavioral Model of Teaching) melalui teori ini siswa dibimbing untuk dapat memecahkan masalah belajar melalui penguraian perilaku kedalam jumlah yang kecil dan berurutan (Syaiful Sagala, 2009 : 180).
Syaiful Sagala, (2009 : 180) mengatakan bahwa gerakan pendidikan yang mendekatkan anak dengan alam sekitarnya adalah gerakan pengajaran alam sekitar, perintis gerakan ini antara lain adalah Fr. Finger (1808-1888) di Jerman dengan “heimatkunde” adalah :
1) Dengan pengajaran alam sekitar, guru dapat memperagakan secara langsung sesuai dengan sifat-sifat atau dasar-dasar pengajaran
2) Pengajaran alam sekitar memberikan kesempatan sebanyak-banyaknya agar anak aktif atau giat tidak hanya duduk, dengar, dan catat saja.
3) Pengajaran alam sekitar memungkinkan untuk memberikan pengajaran totalitas, yaitu suatu bentuk dengan ciri-ciri :
a. Suatu pengajaran yang tidak mengenai pembagian mata pengajaran dalam daftar pengajaran, tetapi guru memahami tujuan pengajaran dan mengarahkan usahanya untuk mencapai tujuan.
b. Suatu pengajaran yang menarik minat, karena segala sesuatu dipusatkan atas suatu bahan pengajaran yang menarik perhatian anak dan diambilkan dari alam sekitarnya.
c. Suatu pengajaran yang memungkinkan segala bahan pengajaran itu berhubungan satu sama lain seerat-eratnya secara teratur
d. Pengajaran alam sekitar memberi kepada anak bahan apersepsi intelektual yang kukuh dan tidak verbalitas.
e. Pengajaran alam sekitar memberikan apersepsi emosional, karena alam sekitar mempunyai ikatan emosional dengan anak

2.3 Teknik-teknik Mengajar dengan Pendekatan Lingkungan Alam Sekitar
Menurut Nana Sudjana dan Ahmad Rivai (1990:210) ada beberapa cara teknik atau cara mengajar dengan pendekatan lingkungan alam sekitar, yaitu :
a. Survey
b. Camping / berkemah
c. Field Trip / karya wisata
Nasution (1976:197) dalam Habiba (2006) mengatakan pendekatan lingkungan atau karyawisata adalah pendekatan yang berorientasi pada alam bebas dan nyata, tidak harus selalu ke tempat yang jauh tetapi dapat dilakukan di lingkungan alam sekitar kita.
a. Praktik Lapangan
b. Mengundang nara sumber
c. Proyek Pelayanan
d. Pengabdian kepada masyarakat

~Kelebihan mengajar dengan pendekatan lingkungan alam sekitar, yaitu :
 Lebih menarik dan tidak membosankan
 Hakikat belajar akan lebih bermakna
 Bahan-bahan yang dapat dipelajari lebih kaya serta lebih faktual sehingga kebenarannya lebih akurat
 Kegiatan belajar siswa lebih komprehensif dan lebih aktif
 Sumber belajar menjadi lebih kaya
 Siswa dapat memahami dan menghayati aspek-aspek kehidupan yang ada di lingkungannya.

~Kekurangan mengajar dengan pendekatan lingkungan alam sekitar, yaitu :
 Volume dan kekuatan suara harus lebih besar, agar dapat ditangkap oleh audiens.
 Guru/dosen harus mengeluarkan tenaga ekstra untuk memusatkan perhatian audiens.
 Model pembelajaran harus dibuat menarik, variatif
 Sangat tergantung cuaca
 konsentrasi audiens kurang


BAB 3 PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari beberapa penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa pengajaran dengan menggunakan pendekatan lingkungan alam sekitar adalah menggunakan atau memanfaatkan lingkungan siswa sebagai sumber belajar untuk keperluan pengajaran dalam rangka mencapai tujuan pembelajaran dengan menggunakan model dan teknik yang sudah ada. Dalam pelaksanaannya dapat membawa kelas ke lingkungan dan dapat juga lingkungan dibawa ke sekolah. Ini berarti bahwa pengajaran akan memanfaatkan lingkungan sebagai sumber belajar dalam rangka mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan.

3.2 Saran
Perkembangan teknologi dari tahun ke tahun semakin maju dan kemampuan Sumber Daya Manusia ( SDM ) terus meningkat khususnya bagi seorang guru yang bertugas mendidik dan membimbing siswa agar menjadi anak-anak yang memiliki IPTEK dan siap bersaing dalam menghadapi perkembangan zaman. Untuk itu seorang guru harus kreatif dan inovatif dalam mengajar siswa-siswanya agar tidak membosankan. Salah satu contoh adalah dengan pendekatan lingkungan alam sekitar. Sehingga tercipta generasi-generasi yang canggih dan hebat.



DAFTAR PUSTAKA
Barlia Lily, (2008). Mengajar Dengan Pendekatan Lingkungan Alam Sekitar.Subang : Royyan Press
Karli H dan Margaretha. (2002). Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi. Bina Media Informasi. Bandung
Mulyasa E, (2008). Menjadi Guru Profesional. Bandung : PT. Remaja
Rosda Karya.
Sagala, Syaiful, (2008). Konsep dan Makna Pembelajaran. Bandung









0 komentar:

Software Praktis Untuk Posting Blog

0 komentar
Berikut ini adalah sofware wajib bagi Anda yang memiliki puluhan blog sehingga malas untuk posting tiap-tiap blog. Apakah kelebihan software ini? Salah satu kelebihan yang paling saya suka dari blog ini adalah kita bisa posting ke beberapa blog sekaligus tanpa harus login pada tiap-tiap blog. Mudah bukan? Hal ini tentunya akan memudahkan Anda yang memiliki puluhan blog dummy, hanya dengan sekali klik maka artikel akan secara otomatis tersubmit dalam blog.

Software tersebut bernama Blogdesk, bagaimana cara kerjanya?gampang sekali Anda tinggal download software tersebut disini jangan kuatir itu freeware koq jadi bukan barang bajakan dan saya pastikan aman buat Anda. Setelah downlod, langsung install aza ke komputer/laptop Anda, Setelah selesai menginstal buka software tersebut, dan klik kanan pada kolom Blogs dan category, kemudian klik create Blog, masukkan title blog Anda, kemudian masukan juga alamat blog Anda dan pilih Cms yang Anda gunakan, misalnya pilih wordpress, kemudian klik next portnya biarkan default kemudian masukkan usernamu dan password untuk loggin blog wp Anda kemudian next dan finish. Anda bisa memasukkan beberapa blog dalam sofware tersebut.

Untuk posting caranya ketikka/pastekan artikel pada kolom yang tersedia, jangan lupa diberi judul/title. Dan edit sesuka hati Anda, misalnya untuk membold keyword, menambahkan link, membuat rata kanan, atau rata kiri, dan sebagainya. kemudina centang blog yang akan diisi artikel kemudian klik tombol panah berwarna hijau pada toolbar software ini, dan Tara! Blog anda sudah terisi artikel dengan sendirinya, mudah bukan?

Ini alternatife software selain blogdesk, silahkan download juga di :

http://download.live.com/writer

http://bytescout.com/post2blog.html

http://www.zoundry.com/

http://wbloggar.com/download.php

0 komentar:

KONSEP PROFESI KEGURUAN DAN KODE ETIK GURU

47 komentar
BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pendidikan adalah investasi Sumber Daya Manusia (SDM) jangka panjang. Oleh Sebab itu, tidak heran apabila suatu Negara menempatkan Pendidikan sebagai variable utama dalam konteks pembangunan bangsa dan negaranya, termasuk di Negara Indonesia. Dalam konteks The Founding Father, tujuan kemerdekaan Indonesia adalah ikut serta dalam mencerdaskan kehidupan bangsa sesuai isi SPembukaan Undang-undang dasar 1945. Dengan kata lain sudah tercipta sebuah komitmen mulia yang harus dilaksanakan Negara ini.
Dewasa ini pendidikan di Indonesia dihadapkan dengan beberapa permasalahan. Dalam Term of Reference EADC 2010 dengan Tema “Cerdas Indonesiaku” memaparkan bahwa rendahnya kualitas guru di Indonesia merupakan rangkaian dari rantai masalah pendidikan di Indonesia yang harus diberantas hingga ke akarnya. Hal ini berkaitan dengan peran guru yang merupakan komponen penting dalam dunia pendidikan yang berada di barisan terdepan.
Berangkat dari masalah di atas, penulis yang merupakan calon guru ingin membuka pikiran bahwa keprofesionalan harus tertanam kuat pada diri kita. Sudah selayaknya guru mempunyai kompetensi serta tanggung jawab yang tinggi dalam menjalankan profesinya, sehingga nasib pendidikan di Indonesia akan berubah kearah yang lebih baik.

B. Permasalahan Makalah
Untuk mempermudah kita dalam memahami materi tentang Profesi Keguruan, penulis akan membuat rumusan masalah sebagai berikut :
1. Hakikat dari profesi keguruan
2. Pengertian dan ciri-ciri profesi keguruan
3. Pengertian dan fungsi kode etik guru.
4. Deskripsi kode etik dalam pelasaksanaan tugas guru

C. Tujuan dan Manfaat
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini seperti yang tetera dalam pembukaan Undang-undang Dasar 1945, bahwa Indonesia telah berkomitmen menjadikan bangsanya cerdas dan keberhasilan tersebut sedikit banyaknya tergantung pada guru sebagai pasukan terdepan dalam pendidikan. Oleh sebab itu tujuan dibuatnya makalah ini tidak lain untuk Open Mind bahwa keprofesionalan harus dimiliki oleh seorang guru. Bahkan kita sebagai calon guru juga harus berpikir bagaimana menjadi guru yang professional.
Adapun manfaat yang diperoleh dari pembuatan makalah ini adalah :
1. Kita dapat mengetahui hakekat dari profesi keguruan
2. Kita dapat mengetahui pengertian dan ciri-ciri profesi
3. Kita dapat mengetahui pengertian dan fungsi kode etik
4. Kita dapat mendeskripsikan kode etik dalam pelaksanaan tugas guru.



BAB II PEMBAHASAN

KONSEP PROFESI KEGURUAN
A. Hakekat Profesi Keguruan
1. Melakukan pelayanan dan pengabdian yang dilandasi dengan kemampuan dan filsafat yang baik dan mantap
2. Menampakkan keterampilan teknis yang didukung oleh pengetahuan sikap kepribadian yang dilandasi oleh nilai-nilai/norma-norma perilaku anggotanya

B. Pengertian dan Ciri-ciri Profesi
Secara estimologi, istilah profesi berasal dari bahasa Inggris yaitu profession atau bahasa latin, profecus, yang artinya mengakui, adanya pengakuan, menyatakan mampu, atau ahli dalam melakukan suatu pekerjaan. Sedangkan secara terminologi profesi berarti suatu pekerjaan yang mempersyaratkan pendidikan tinggi bagi pelakunya yang ditekankan pada pekerjaan mental; yaitu adanya persyaratan pengetahuan teoritis.
Menurut Ornstein dan Levine (1984) menyatakan bahwa profesi itu adalah jabatan sepanjang hayat, memerlukan ilmu dan keterampilan, menggunakan hasil penelitian dan aplikasi teori ke praktek, memerlukan pelatian khusus, mempunyai persyaratan masuk, mempunyai otonami dalam ruang lingkup kerjanya, bertanggung jawab terhadap keputusan yang diambil, mempunyai komitmen terhadap jabatan dan klien, menggunakan administrator, mempunyai organisasi yang dikelola anggota profesi, mempunyai kode etik, memiliki kepercayaan publik yang tinggi, mempunyai status sosial yang tinggi, ada kelompok elit untuk menilai keberhasilan
Menurut Volmer dan Mills (1966), Mc Cully (1969), dan Diana W. Kommer (dalam sagala, 2000:195-196), mereka sama-sama mengartikan
profesi sebagai spesialisasi dari jabatan intelektualyang diperoleh melalui study dan training, bertujuan menciptakan keterampilan, pekerjaan yang bernilai tinggi, sehingga keterampilan dan pekerjaan itu diminati, disenangi oleh orang lain, dan dia dapat melakukan pekerjaan itu dengan mendapat imbalan berupa bayaran, upah,dan gaji (payment).
Menurut Sanusi et al (1991) menguraikan ciri-ciri utama profesi adalah suatu jabatan yang memiliki fungsi dan signifikansi social yang menentukan (crusial), menuntun keterampilan dan keahlian tertentu, memerlukan pendidikan tinggi dengan waktu yang lama, berpegang teguh pada kode etik, memiliki otonom terhadap masalah yang dihadapinya, bertanggung jawab terhadap tindakannya. .
Profesi adalah suatu pekerjaan yang dalam melaksanakan tugasnya memerlukan/menuntut keahlian(expertise),menggunakan teknik-teknik ilmiah, serta dedikasi yang tinggi. Keahlian diperoleh dari lembaga pendidikan yang khusus diperuntukkan untuk itu dengan kurikulum yang dapat dipertanggung jawabkan.
Ciri-ciri profesi, yaitu adanya:
1. standar unjuk kerja;
2. lembaga pendidikan khusus untuk menghasilkan pelaku profesi tersebut dengan standar kualitas akademik yang bertanggung jawab;
3. organisasi profesi;
4. etika dan kode etik profesi;
5. sistem imbalan;
6. pengakuan masyarakat
C. Pengertian dan Ciri-ciri Profesi Kependidikan
Profesi menunjukkan lapangan yang khusus dan mensyaratkan studi dan penguasaan pengetahuan khusus yang mendalam. Profesi kependidikan dalam hal ini, guru merupakan suatu profesi karena dia memiliki 6 ciri-ciri yang telah dibahas sebelumnya. Jadi dapat kita simpulkan pengertian dari profesi kependidikan/keguruan adalah keahlian khusus dalam bidang pendidikan, pengajaran,dan pelatihan yang ditekuni untuk menjadi mata pencaharian dalam memenuhi kebutuhan hidup yang bersangkutan (guru) serta menuntut keprofesionalan pada bidang tersebut.

Robert W.Rickey dalam Djam an Satori dkk(2003:119) mengemukakan ciri-ciri profesi keguruan sebagai berikut :
a. Bahwa para guru akan bekerja hanya semata-mata memberikan pelayanan kemanusiaan daripada usaha untuk kepentingan pribadi.
b. Bahwa para guru secara hukum dituntut untuk memenuhi berbagai persyaratan untuk mendapatkan lisensi mengajar serta persyaratan yang ketat untuk menjadi anggota organisasi guru.
c. Bahwa para guru dituntut untuk memiliki pemahaman serta ketrampilan yang tinggi dalam hal bahan ajar, metode, anak didik dan landasankependidikan.
d. Bahwa para guru dalam organisasi profesional, memiliki publikasi profesional yang dapat melayani para guru, sehingga tidak ketinggalan, bahkan selalu mengikuti perkembangan yang terjadi.
e. Bahwa para guru, selalu diusahakan untuk selalu mengikuti kursus-kursus, workshop, seminar, konvensi serta terlibat secara luas dalam berbagaikegiatan“inservice”.
f. Bahwa para guru diakui sepenuhnya sebagai suatu karier hidup (a lifecareer).
g. Bahwa para guru memiliki nilai dan etika yang berfungsi secara nasional maupun lokal.

Adapun ciri-ciri/karateristik profesi keguruan menurut National Association of Education (NEA) antara lain :
1. Jabatan yang melibatkan kegiatan intelektual
Anak yang baru masuk SD, belum bisa baca tulis, belum dapat hitung menghitung dan sebagainya. Setelah diproses melalui pembelajaran, anak tersebut menjadi terampil baca tulis,terampil hitung menghitung. Perubahan ini dapat dikatakan bahwa kegiatan pembelajaran itu didominasi oleh kegiatan intelektual.
2. Jabatan yang menggeluti suatu batang tubuh ilmu yang khusus
Kita mengenal guru TK, guru SD, guru SLB A, guru SLB B dan sebagainya. Guru-guru itu dalam pendidikannya menggeluti ilmu-ilmu khusus. Guru SLBA misalnya, menggeluti bidang khusus ketunanetraan. Guru SLBB menggeluti bidang khusus ketunarunguan dan kebisuan dan sebagainya. Kenyataan tersebut merupakan bukti bahwa jabatan guru memiliki ilmu-ilmu khusus
3. Jabatan yang memerlukan persiapan professional yang lama
Jabatan guru adalah jabatan yang sedang dan terus berkembang. Dulu untuk menjadi guru SD dipersyaratkan minimal berijazah SPG/SGO, kemudian berkembang menjadi D II PGSD dan sekarang minimal berijazah SI PGSD. Tidaklah mustahil disuatu saat kelak, untuk menjadi guru SD dipersyaratkan minimal berpendidikan formal S III. Meskipun dalam kenyataan di masyarakat, ada guru yang pendidikan keguruannya hanya beberapa bulan, bahkan ada guru yang diangkat dengan latar belakang pendidikan formal non guru. Kejadian-kejadian itu hanyalah tindakan “tanggap darurat”
4. Jabatan yang memerlukan “Latihan dalam jabatan” yang berkesinambungan
Anda sekarang ini mengikuti program SI PGSD sistem ODL (Open And Distance Learning). Sebelumnya pendidikan anda adalah D II PGSD dan sudah berkedudukan sebagai guru. Di sekolah tentunya anda juga mengikuti kegiatan-kegiatan seperti KKG,PKG, KKPS atau kegiatan ilmiah lainnya.
5. Jabatan yang menjanjikan karir hidup dan keanggotaan yang permanen. Jabatan guru dikatakan memenuhi ciri itu jika guru dapat hidup layak dari
jabatannya itu, tanpa harus melakukan pekerjaan lain guna memenuhi kebutuhan hidupnya. Penghasilan guru yang rendah, diduga menjadi salah satu penyebab mengapa LPTK mengalami kesulitan untuk mendapatkan bahan baku (calon mahasiswa) yang berkualitan.
6. Jabatan yang menentukan standarnya sendiri
Ciri ini belum dapat dipenuhi secara baik oleh jabatan guru di Indonesia, karena standar jabatan guru masih banyak ditentukan oleh pemerintah, bukan oleh para anggota profesi sendiri.
7. Jabatan yang lebih mementingkan layanan diatas keuntungan pribadi
Jabatan guru sudah terkenal luas sebagai jabatan yang anggotanya terdorong oleh keinginan untuk membantu orang lain dan bukan disebabkan oleh keuntungan ekonomi semata. Banyak guru yang memberikan les tanpa memungut biaya dari murid-muridnya.
8. Jabatan yang mempunyai organisasi professional yang kuat dan terjalin erat Jabatan guru di Indonesia sudah memiliki wadah Yaitu PGRI (Persatuan Guru Republik Indonesia). Setiap guru otomatis menjadi anggotanya.
Jabatan guru belum dapat memenuhi secara maksimal ciri-ciri/karateristik itu, namun perkembangan di tanah air menunjukkan arah untuk cirri-ciri tersebut. Usaha untuk ini sangat tergantung kepada niat, prilaku, dan komitmen dari guru sendiri dan organisasi yang berhubungan dengan itu, selain juga oleh kebijakan pemerintah.
KODE ETIK KEGURUAN
a. Pengertian kode etik
1. Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang pokok-pokok kepegawaian, pasal 28 Undang-Undang ini dengan jelas menyatakan bahwa “ Pegawai Negeri Sipil mempunyai kode etik sebagai pedoman sikap, tingkah laku dan perbuatan didalam dan diluar kedinasan.”
2. Dalam pidato pembukaan Kongres PGRI XIII,Basumi sebagai ketua umum PGRI menyatakan bahwa kode atik guru indonesia merupakan landasan moral dan pedoman tingkah laku guru warga PGRI dalam melaksanakan panggalilan pengabdiannya bekerja sebagai guru (PGRI, 1973). Dari pendapat ketua umum PGRI ini dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam kode etik guru indonesia terdapat dua unsur pokok yakni: (1) sebagai landasan moral. (2) sebagai pedona tingkah laku.
Dari uraian tersebut kelihatan, bahwa kode etik suatu profesi adalah norma-norma yang harus diindahkan oleh setiap anggota profesi di dalam melaksanakan tugas profesinya dan dalam hidupnya di masyarakat. Norma-norma tersebut berisi petunjuk-petunjuk bagi para anggota profesi tentang bagaimana mereka melaksanakan profesinya dan larangan-larangan, yaitu ketentuan-ketentuan tentang apa yang tidak boleh diperbuat atau dilaksanakan oleh mereka, melainkan juga menyangkut tingkah laku anggota profesi pada umumnya dalam pergaulan sehari-hari di dalam masyarakat.

Adapun kode etik guru Indonesia adalah :
a. Guru berbakti membimbing peserta didik untuk membentuk manusia Indonesia seutuhnya yang berjiwa Pancasila.
b. Guru memiliki dan melaksanakan kejujuran professional.
c. Guru berusaha memperoleh informasi tentang peserta didik sebagai bahan melakukan bimbingan dan pembinaan.
d. Guru menciptakan suasana sekolah sebaik-baiknya yang menunjang berhasilnya proses belajar-mengajar.
e. Guru memelihara hubungan baik dengan orang tua murid dan masyarakat sekitarnya untuk membina peran serta dan rasa tanggung jawab bersama terhadap pendidikan.
f. Guru secara pribadi dan bersama-sama mengembangkan dan meningkatkan mutu dan martabat profesinya.
g. Guru memelihara hubungan seprofesi, semangat kekeluargaan, dan kesetiakawanan social.
h. Guru secara bersama-sama memelihara dan meningkatkan mutu organisasi PGRI sarana perjuangan dan pengabdian.
i. Guru melaksanakan segala kebijakan pemerintah dalam bidang pendidikan.

b. Fungsi Kode etik guru
Pada dasarnya kode etik memiliki fungsi ganda yaitu sebagai perlindungan dan pengembangan bagi profesi .fungsi seperti itu sama seperti apa yang dikemukakan Gibson dan Michel(1945-449)yang lebih mementingkan pada kode etik sebagai pedoman pelaksanaan tugas professional dan pedoman bagi masyarakat sebagai seorang professional.
Biggs dan blocher(1986-10) mengemukakan tiga fungsi kode etik yaitu
1) Melindungi suatu profesi dari campur tangan pemerintah
2) Mencegah terjadinya suatu pertentangan internal dalam suatu profesi
3) Melindungi para praktisi dari kesalahan praktik suatu profesi.
Sutan Zahri dan Syahmiar Syahrun(1992) mengemukakan :
1) Agar guru terhindar dari penyimpangan tugas yang menjadi tanggung jawabnya
2) Untuk mengatur hubungan guru dengan murid, teman sekerja, masyrakat , dan pemerintah
3) Sebagai pegangan dan pedoman tingkah laku guru agar lebih bertanggung jawab pada profesinyau
4) Pemberi arah dan petunjuk yang benar kepada mereka yang menggunakan profesinya dalam melaksanakan tugas
Kode etik guru sesungguhnya merupakan pedoman yang mengatur hubungan guru dengan teman kerja, murid dan wali murid, pimpinan dan masyrakat serta dengan misi tugasnya. Menurut Oteng Sutisna(1986-364)bahwa pentingnya kode etik guru dengan teman kerjanya difungsikan sebagai penghubung serta saling mendukung dalam bidang mendidik peserta didik.
Etika hubungan guru dengan peserta didik menuntut terciptanya hubungan berupa helping relationship(brammer,1979),yaitu hubungan yang bersifat membantu dengan mengupayakan terjadinya iklim belajar yang kondusif bagi perkembangan peserta didik.
Etika hubungan guru dengan pimpinan di sekolah menuntut adanya kepercayaan. bahwa guru percaya kepada pimpinannya dalam member tugas dapat dan sesuai kemampuan serta guru percaya setiap apa yang telah dikerjakan mendapatkan imbalan dan sebaliknya pimpinan harus yakin bahwa tugas yang telah diberikan telah dapat dilaksanakan
Guru sangat perlu memelihara hubungan baik dengan masyarakat untuk kepentingan pendidikan. Guru juga harus menghayati apa saja yang menjadi tanggung jawab tugasnya

c. Deskripsi Kode Etik
 Guru memiliki kewajiban untuk membimbing anak didik seutuhnya dengan tujuan membentuk manusia pembangunan yang pancasila. Inilah bunyi kode etik guru yang pertama dengan istilah ‘berbakti dan membimbing yang artinya mengabdi tanpa pamrih dan tidak pandang bulu dengan membantu (tanpa paksaan, manusiawi)istilah seutuhnya lahir batin, secara fisik dan psikis. Jadi guru harus berupaya dalam membentuk manusia pembangunan pancasila harus seutuhnya tanpa pamrih.
 Menentukan tujuan pembelajaran yang harus dicapai, baik yang bersifat umum maupun khusus
 Menjabarkan materi pembelajaran atas sejumlah unit pembelajaran yang dirangkaikan
 Memberi pelajaran secara klasikal sesuai dengan unit pelajaran yang sedang dipelajari
 Memberikan pertolongan khusus kepada siswa yang belum mencapai tingkat penguasaan yang ditentukan.




BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan
a. Hakekat profesi keguruan mengandung arti melakukan pelayanan dan pengabdian yang dilandasi dengan kemampuan dan filsafat yang baik dan mantap dan menampakkan keterampilan teknis yang didukung oleh pengetahuan sikap kepribadian yang dilandasi oleh nilai-nilai/norma-norma perilaku anggotanya.
b. Profesi keguruan adalah keahlian khusus dalam bidang pendidikan, pengajaran, dan pelatihan yang ditekuni untuk menjadi mata pencaharian dalam memenuhi kebutuhan hidup yang bersangkutan (guru) serta menuntut keprofesionalan pada bidang tersebut.
c. Ciri-ciri profesi keguruan yaitu jabatan yang melibatkan kegiatan intelektual, jabatan yang menggeluti suatu batang tubuh ilmu yang khusus, jabatan yang memerlukan persiapan professional yang lama, jabatan yang memerlukan “Latihan dalam jabatan” yang berkesinambungan, jabatan yang menjanjikan karir hidup dan keanggotaan yang permanen, jabatan yang menentukan standarnya sendiri, jabatan yang lebih mementingkan layanan diatas keuntungan pribadi, dan jabatan yang mempunyai organisasi professional yang kuat dan terjalin erat.
d. Kode etik Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang pokok-pokok kepegawaian, pasal 28 Undang-Undang ini dengan jelas menyatakan bahwa “ Pegawai Negeri Sipil mempunyai kode etik sebagai pedoman sikap, tingkah laku dan perbuatan didalam dan diluar kedinasan.”.
e. Pada dasarnya kode etik memiliki fungsi ganda yaitu sebagai perlindungan dan pengembangan bagi profesi. Fungsi seperti itu sama seperti apa yang dikemukakan Gibson dan Michel (1945 : 449) yang lebih mementingkan pada kode etik sebagai pedoman pelaksanaan tugas profesional dan pedoman bagi masyarakat sebagai seorang professional
f. Deskripsi kode etik guru dalam pelaksanaan tugas guru adalah :
1. Menentukan tujuan pembelajaran yang harus dicapai, baik yang bersifat umum maupun khusus
2. Menjabarkan materi pembelajaran atas sejumlah unit pembelajaran yang dirangkaikan
3. Memberi pelajaran secara klasikal sesuai dengan unit pelajaran yang sedang dipelajari
4. Memberikan pertolongan khusus kepada siswa yang belum mencapai tingkat penguasaan yang ditentukan


47 komentar:

NASKAH PRODUKSI VIDEO PEMBELAJARAN “CIRI-CIRI MAHLUK HIDUP”

0 komentar
A. Latar Belakang
Guru adalah seseorang yang sangat dibutuhkan dalam pelaksanaan proses pembelajaran. Tanpa adanya guru, kecil kemungkinan siswa dapat melaksanakan proses pembelajaran dengan maksimal. Namun pada suatu saat guru juga dapat menghadapi kesulitan dalam proses pembelajaran. Misalkan pada saat memberikan pembahasan materi mengenai suatu pokok bahasan, banyak siswa yang kurang mengerti terhadap materi yang dijelaskan. Hal ini terjadi karena guru hanya menjelaskan pelajaran yang sulit dimengerti dengan kata-kata saja, meskipun telah diselingi dengan contoh.
Berdasarkan kenyataan tersebut peran media dalam pembelajaran sangatlah besar untuk membantu proses pembelajaran itu sendiri. Dalam menjelaskan pokok bahasan kepada siswanya, guru dapat menggunakan media yang sesuai, baik itu media audio, visual, ataupun media audio visual.
Tidak dapat dipungkiri bahwa kebanyakan dari manusia lebih dapat memahami dan mengerti apa yang dilihat dan didengar secara langsung oleh panca inderanya. Berdasarkan hal tersebut di atas, saya membuat sebuah media pembelajaran yang berbentuk audio visual. Media ini adalah media video pembelajaran yang berjudul “Ciri-Ciri Mahluk Hidup”. Dengan media ini, diharapkan dapat membantu guru maupun siswa untuk memaksimalkan proses pembelajaran

B. SASARAN ATAU AUDIENS
Program video pembelajaran ini ditujukan kepada siswa-siswi Sekolah Dasar kelas VI semester I, pada mata pelajaran IPA.

C. TUJUAN PROGRAM
Setelah menyaksikan dan menyimak program video pembelajaran ini, diharapkan siswa-siswi dapat:
 Mengerti dan memahami ciri-ciri dari mahluk hidup, seperti bernafas, bergerak, makan dan minum, tumbuh, berkembang biak, peka terhadap rangsangan, dan mengeluarkan zat sisa.
 Membedakan mahluk hidup dengan benda mati.

D. DURASI WAKTU
Durasi waktu video pembelajaran ini yaitu 20 menit.

E. FORMAT PROGRAM
Program ini menggunakan format video dokumenter.

F. GARIS BESAR ISI PROGRAM
Dalam video pembelajaran ini berisi tentang ciri-ciri mahluk hidup, seperti:
 Bernafas (Respirasi)
 Bergerak
 Memerlukan makanan dan minuman
 Tumbuh
 Berkembang biak (Reproduksi)
 Peka terhadap rangsangan (Iritabilitas)
 Mengeluarkan zat sisa (Ekskresi

G. SINOPSIS
Program ini menampilkan sebuah video dokumenter tentang ciri-ciri mahluk hidup dengan durasi waktu 20 menit. Tampilan awal dimulai dengan intro atau pembukaan dengan menampilkan beberapa gambar mahluk hidup dan benda mati., lalu diikuti dengan judul dari video ini. Setelah itu bagian-bagian film dari shot-shot dan sekuen-sekuen dokumenter yang menceritakan tentang ciri-ciri mahluk hidup, mulai dari bernafas sampai ekskresi ditampilkan. Dari penampilan tersebut diselingi dengan penampilan presenter yang menjelaskan tentang pengertian dari berbagai macam ciri mahluk hidup tersebut, dan juga beberapa teks atau tulisan tentang ciri-ciri mahluk hidup. Selain itu terdapat juga musik-musik pengiring, baik musik pembukaan, musik pengiring shot, musik jeda, dan musik penutupnya.

H. TREATMENT
1. Pada awal program ditampilkan beberapa gambar mahluk hidup dan benda mati, yang diikuti dengan caption “Mempersembahkan Video Pembelajaran” yang dilanjutkan dengan caption “Ciri-Ciri Mahluk Hidup” sebagai judul program, dan caption “Untuk Kelas VI SEKOLAH DASAR” sebagai penanda video ini untuk siapa, serta caption “Selamat Menyaksikan” sebagai tanda bahwa film akan dimulai.
2. Selanjutnya memperlihatkan potongan-potongan shot yang pendek dari ciri-ciri mahluk hidup.
3. Lalu presenter berbicara sebagai pembukaan video yang menjelaskan garis besar isi video pembelajaran tersebut.
4. Dimulai dari shot-shot film yang menggambarkan ciri mahluk hidup yang pertama yaitu bernafas, dan diiringi dengan suara presenter yang memberikan penjelasan tentang gambarnya. Begitu seterusnya sampai semua shot tentang ciri mahluk hidup habis.
5. Di akhir film shot-shot pendek kembali ditangkan untuk mengingatkan kembali, lalu diikuti dengan presenter yang berbicara dan menyimpulkan isi film tentang ciri-ciri mahluk hidup tersebut serta mengatakan bahwa film tersebut telah selesai.
6. Bagian paling akhir menayangkan kerabat kerja produksi film video pembelajaran, yang diikuti dengan caption “Sekian Dan Terima Kasih”.


I. SHOOTING SCRIPT
No Visual Audio
1. In BlackWipe
LS: Orang Berlari, Pohon, Batu, Sepeda Motor Musik Pembuka: Fade In: In-Up-Normal-Down
2. Fade InLS: Orang Berlari dan CU Caption
“MEMPERSEMBAHKAN VIDEO
PEMBELAJARAN”
Fade Out Musik: Fade In: Up-Normal
3. Fade InCU Caption Judul “CIRI-CIRI MAHLUK HIDUP”
Fade Out Musik: Normal
4. Fade InCU Caption “UNTUK KELAS VI SEKOLAH DASAR”
Fade Out Musik: Normal
5. Fade InCU Caption “SELAMAT MENYAKSIKAN”
Fade Out Musik: Fade Out: Normal-Down-Out
6. In Black Musik Penunggu
7. DissolveMCU:Orang yang sedang
merokok
MCU: Orang yang sedang makan
MS: Orang yang sedang berlari
LS: Anak kecil, orang dewasa, dan orang tua
Cut Musik Tema: Fade In: In-Up-Normal-Down
8. Fade InMS: Presenter berdiri di taman dekat pohon-pohonan
Fade Out Musik Latar:Fade In-Normal-Down
Live:
Adik-adik siswa-siswi yang saya banggakan. Dalam video pembelajaran ini, akan menayangkan film yang membahas tentang ciri-ciri mahluk hidup.
Setelah menyaksikan video ini, adik-adik diharapkan dapat mengerti dan memahami tentang ciri-ciri mahluk hidup, serta dapat membedakannya dengan benda mati.
9. DissolveIn Black
CU Caption “CIRI-CIRI MAHLUK HIDUP”
CU Caption “BERNAFAS (RESPIRASI)” Musik Smash
10. DissolveMS: Orang-orang yang sedang merokok
MS: Orang menghela nafas ngos-ngosan
LS: Sapi yang sedang duduk
CU: Ikan berenang
ECU: Ikan berenang
Fade Out Musik Latar:Fade In-Up-Normal-Down
Off Screen Voice (OSV)
Ciri mahluk hidup yang pertama adalah bernafas atau respirasi. Bernafas yaitu proses pengambilan oksigen dari luar tubuh untuk proses pembakaran bahan makanan di dalam tubuh, dan mengeluarkannya dalam bentuk karbondioksida. Manusia dan hewan mamalia menggunakan paru-paru mereka untuk bernafas, sedangkan hewan laut menggunakan insang untuk pernafasan mereka.
11. In BlackCU Caption “CIRI YANG KEDUA”
CU Caption “BERGERAK” Musik Smash
12. DissolveLS: Orang-orang yang sedang berjalan
LS: Anjing Berlari
LS: Orang-orang yang sedang berlari
MS: Ikan berenang
MS: Orang yang sedang menggerakkan tangan
CU: Tumbuhan
LS: Ayam
Fade Out Musik Latar:Fade In-Up-Normal-Down
Off Screen Voice (OSV)
Ciri mahluk hidup yang kedua yaitu bergerak. Gerak adalah kemampuan mahluk hidup untuk menggerakkan bagian tubuhnya, dan berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Kemampuan manusia, hewan dan tumbuhan dalam bergerak tidak sama. Gerak manusia dan hewan mudah kita amati, karena mereka melakukan gerakan dengan tangan dan kakinya. Sedangkan gerakan pada tumbuhan tidak mudah untuk diamati, tumbuhan bergerak mengikuti arah datangnya cahaya.
13. In BlackCU Caption “CIRI YANG KETIGA”
CU Caption “MEMERLUKAN MAKANAN DAN MINUMAN” Musik Smash
14. DissolveCU dan MS: Orang-orang yang sedang makan/ngemil
MS: Ikan sedang makan
LS: Ayam sedang makan
CU dan MS: Orang-orang yang sedang minum
CU dan MS: Tumbuhan
LS: Sapi sedang makan
Fade Out Musik Latar:Fade In-Up-Normal-Down
Off Screen Voice (OSV)
Ciri mahluk hidup yang ketiga yaitu memerlukan makan dan minum. Makanan dan minuman diperlukan oleh mahluk hidup untuk mendapatkan energi, membangun tubuhnya, dan mengganti bagian-bagian tubuh atau sel-sel tubuh yang rusak. Manusia memakan daging dari hewan yang bisa dimakan, dan memakan biji-bijian atau buah-buahan dari tumbuhan. Hewan juga memakan daging dan tumbuhan. Sedangkan tumbuhan hanya menyerap air dan unsur hara dalam tanah sebagai makanannya.
15. In BlackCU Caption “CIRI YANG KEEMPAT”
CU Caption “TUMBUH” Musik Smash
16. DissolveMS dan LS: Bayi, anak-anak, orang dewasa, dan orang tua.
LS: Anak dan induk ayam
LS: Anak dan induk sapi
LS: Anak dan induk kambing
CU dan MS: Tumbuhan kecil dan besar
Fade Out Musik Latar:Fade In-Up-Normal-Down
Off Screen Voice (OSV)
Ciri mahluk hidup yang keempat yaitu tumbuh. Tumbuh berarti bertambah besarnya ukuran mahluk hidup, berarti yang semula kecil menjadi besar. Pertumbuhan terjadi karena adanya penambahan jumlah sel dan ukuran sel yang membangun tubuh mahluk hidup tersebut. Pertumbuhan pada mahluk hidup dipengaruhi oleh faktor dalam dan faktor luar. Faktor dalam, yaitu adanya zat hormon pertumbuhan dan keturunan. Sedangkan faktor luar misalnya lingkungan tempat tinggal.
17. In BlackCU Caption “CIRI YANG KELIMA”
CU Caption “BERKEMBANG BIAK (REPRODUKSI)” Musik Smash
18. DissolveLS: Ayam betina dan jantan, anak ayam
CU: Telur
MS dan LS: Suami, istri dan bayi
CU dan MS: Tumbuhan
Fade Out Musik Latar:Fade In-Up-Normal-Down
Off Screen Voice (OSV)
Ciri mahluk hidup yang kelima yaitu berkembang biak atau reproduksi. Berkembang biak adalah kemampuan mahluk hidup untuk menghasilkan keturunan. Pada umumnya semua mahluk hidup berkembang biak dengan cara seksual atau kawin. Tapi ada beberapa mahluk hidup yang bisa melakukan perkembangbiakan secara aseksual atau tidak kawin. Tujuan utama mahluk hidup berkembang biak adalah untuk mendapatkan keturunan dan mempertahankan kelangsungan hidup jenisnya.
19. In BlackCU Caption “CIRI YANG KEENAM”
CU Caption “PEKA TERHADAP RANGSANGAN (IRITABILITAS)” Musik Smash
20. DissolveMS: Orang yang bercanda (salah seorang mencubit orang yang satunya)
MS: Orang yang menghalangi sinar matahari, dengan tangannya
CU dan MS: Tumbuhan
Fade Out Musik Latar:Fade In-Up-Normal-Down
Off Screen Voice (OSV)
Ciri mahluk hidup yang keenam yaitu peka terhadap rangsangan atau iritabilitas. Mata dapat melihat karena ada rangsangan cahaya. Kulit juga akan terasa sakit jika dicubit orang. Sedangkan beberapa tumbuhan akan menyiutkan daunnya jika disentuh oleh benda lain seperti putri malu atau lamtoro. Hal ini menunjukkan bahwa setiap mahluk hidup peka terhadap rangsangan dari luar.
21. In BlackCU Caption “CIRI YANG TERAKHIR”
CU Caption “MENGELUARKAN ZAT SISA (EKSKRESI)” Musik Smash
22. DissolveMS: Orang-orang yang sedang merokok
CU: Orang yang keringatan
LS: Sapi dengan kotorannya
MCU:Orang sedang membersihkan kaca(menghembushan nafasnya ke arah kaca)
CU dan MS: Tumbuhan
MS: Kambing dengan kotorannya
Fade Out Musik Latar:Fade In-Up-Normal-Down
Off Screen Voice (OSV)
Ciri mahluk hidup yang terakhir yaitu mengeluarkan zat sisa atau ekskesi. Zat sisa dikeluarkan dari tubuh mahluk hidup sebagai hasil dari proses metabolisme tubuh. Manusia dan hewan mengeluarkan zat sisa dalam bentuk kotoran, air seni, keringat dan karbondioksida. Sedangkan tumbuhan mengeluarkan zat sisa berupa karbondioksida sebagai sisa dari proses pernapasan dan oksigen sebagai sisa proses fotosintesis.
23. In Black Musik Penunggu
24. Fade InMS: Presenter duduk di sebuah taman
Fade Out Musik Latar:Fade In-Normal-Down
Live:
Adik-adik siswa-siswi yang saya banggakan. Demikianlah tayangan video pembelajaran tentang ciri-ciri mahluk hidup. Semoga video ini bermanfaat bagi adik-adik semua, sampai jumpa lagi di lain kesempatan.
25 In Black Musik Penunggu
26. Fade InMCU: Orang yang sedang merokok
LS: Ayam betina dan jantan, anak ayam
MCU: Orang yang sedang makan
MS: Orang yang bercanda (salah seorang mencubit orang yang satunya)
MS: Kambing dengan kotorannya
LS: Anak kecil, orang dewasa, dan orang tua
MS: Orang yang sedang berlari
Fade Out Musik Tema:Fade In: In-Up-Normal-Down
27. CutCU: Animasi kerabat kerja
Penulis Naskah:…………………………
Sutradara:…………………………………
Presenter:………………………………….
Penata Musik:……………………………
Juru Kamera:…………………………….
Editing Film:…………………………….
Perlengkapan:…………………………… Musik:Fade In: Up-Normal-Down
28. CutCU Caption “SEKIAN”
CU Caption “TERIMA KASIH” Musik:Fade In: Down-Under-Out





0 komentar:

MAKALAH KONSEP PENGEMBANGAN KURIKULUM

0 komentar

KONSEP DASAR PENGEMBANGAN KURIKULUM


Oleh :
1. WINDA NOVELASARI (201110182)
2. MAHFUDHA Y. NURRISKIYAH (201110184)





PROGRAM STUDI S1 PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS ABDURACHMAN SALEH
SITUBONDO
2013

















KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr.Wb.
Segala puji bagi Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat, taufiq dan hidayah-Nya kepada kita semua, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas kelompok ini dengan judul “ KONSEP DASAR PENGEMBANGAN KURIKULUM’’ tepat pada waktunya.
Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Reky Lidyawati, M.Pdi, rekan-rekan, sahabat, dan semua pihak yang turut membantu dalam penyusunan makalah ini, yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
Penulis mengharapkan adanya kritik dan saran yang sifatnya membangun, guna memperbaiki dan menyempurnakan makalah ini.
Secerah harapan yang senantiasa digantungkan, mudah-mudahan makalah ini dapat bermanfaat bagi penyusun khususnya dan umumnya bagi yang senantiasa membaca.
Wassalamu’alaikum Wr.Wb.






Penulis, 13 Oktober 2013














BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Pengembangan kurikulum dapat diartikan sebagai kegiatan menghasilkan kurikulum; atau proses mengaitkan suatu komponen dengan yang lainnya untuk menghasilkan kurikulum yang lebih baik dan/atau kegiatan penyusunan (desain), pelaksanaan, penilaian dan penyempurnaan kurikulum. Pengembangan kurikulum dapat terjadi kapan saja sesuai dengan kebutuhan. Salah satu kebutuhan yang harus diperhatikan dalam kurikulum adalah pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta perilaku kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Dalam realitas sejarahnya, pengembangan kurikulum tersebut ternyata mengalami perubahan-perubahan paradigma, walaupun dalam beberapa hal tertentu paradigma sebelumnya masih tetap dipertahankan sampai sekarang.

1.2 Rumusan Masalah

1.2.1 Apa pengertian dari pengembangan kurikulum dan peran pengembangan kurikulum ?
1.2.2 Hal apa saja yang harus diperhatikan dalam isi pengembangan kurikulum?
1.2.3 Asas apa saja yang mendasari pengembangan kurikulum?


1.3 Tujuan
1.3.1 Utuk mengetahui makna dari Pengembangan Kurikulum dan peran pengembangan kurikulum
1.3.2 Untuk mengetahui dan memahami apa saja yang harus diperhatikan dari pengembangan kurikulum
1.3.3 Untuk mengetahui asa yang mendasari kurikulum







BAB 2 PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Pengembangan Kurikulum dan Peran Pengembangan Kurikulum
Pengembangan kurikulum adalah kegiatan menghasilkan kurikulum pada tingkat satuan pendidikan atau proses yang mengaitkan satu komponen dengan yang lainnya untuk menghasilkan kurikulum. Pengembangan kuri¬kulum juga bisa diartikan sebagai kegiatan penyu¬sunan, pelaksanaan, penilaian, dan penyempur¬naan kurikulum.
Pendapat Zais yang mengartikan pengembangan kurikulum sebagai “….the processes of constructing and implementing curricula”. Mulyani Sumantri mengartikan pengembangan kurikulum sebagai proses perencanaan menetapkan berbagai kebutuhan, mengadakan identifikasi tujuan-tujuan dan sasaran, menyusun persiapan instruksional, memenuhi segala persyaratan kebudayaan sosial dan pribadi yang dilayani kuri¬kulum.
Dalam mengembangkan kurikulum, kita juga harus mengetahui peranan-peranan yang ada di dalam kurikulum. Peranan tersebut yaitu:

1.Peran Konservatif
Kurikulum mempunyai peran konservatif, yakni kurikulum berperan sebagai salah satu instrumen untuk mengkonservasikan kebudayaan suatu bangsa. Tanpa kurikulum yang baik kebudayaan suatu bangsa bisa sirna dalam sekejap karena tidak ada institusi yang meklestarikannya. Dengan mencantumkan dalam kurikulum, kebudayaan suatu bangsa dapat diwariskan kepada generasi berikutnya sehingga anak cucu bangsa tersebut minimal mengetahui adanya kebudayaan nenek moyangnya.

2.Peran Kritis dan Evaluatif
Kurikulum juga memiliki kritis dan evaluatif. Maksudnya, kurikulum dapat dengan kritis menilai dan mengevaluasi keberadaan kebudayaan nenek moyangnya untuk mengetahui nilai-nilai yang terkandung dalamkebudayaan tersebut.

3.Peran Kreatif
Kurikulum juga mengemban peran kreatif. Maksudnya, kurikulum harus mampu menciptakan kreasi-kreasi baru dalam kaitannya, misalnya dengan kebudayaan yang berkembang dalam masyarakat sehingga kebudayaan tersebut lebih sesuai dengan perkembangan jaman dan tuntutan masyarakatnya.


2.2 Hal Yang Harus Diperhatikan Dalam isi Pengembangan Kurikulum

Ada 2 hal yang harus diperhatikan dalam kaitannya dengan isi dalam pengembangan kurikulum. Pertama, isi kurikulum didefinisikan sebagai bahan atau materi belajardan mengajar. Bahan ini tidak hanya berisikan informasi,faktual, tetapi juga menyangkup pengetahuan, keterampilan, konsep, sikap dan nilai. Kedua, Dalam proses belajar mengajat ada 2 elemem kurikulum yang berinteraksi secara konstan yakni isi dan metode. Isi menjadi signifikan jika ditransmisikan ke pembelajar dalam beberapa hal dan jalan, dan itulah yang disebut dengan metode atau pengalaman belajar mengajar. Hal yang sama juga berlaku dalam pemilihan metode. Metode yang efektif tetapi tidak disertai dengan kemahiran meramu dan menyajikan isi tidak akan menghasilkan manfaat optimal dalam proses belajar.

2.3 Asas-Asas Yang Mendasari Pengembangan Kurikulum
Telah kita ketahui bersama bahwa mengembangkan kurikulum bukan sesuatu yang mudah dan sederhana karena banyak hal yang harus dipertimbangkan. Ada 4 asas yang mendasari pengembangan setiap kurikulum, yaitu :
1.Asas Filosofis
Sekolah bertujuan mendidik anak agar menjadi manusia yang baik yang ditentukan agar menjadi manusia yang “baik”, yang ditentukan oleh nilai-nilai, cita-cita atau filsafat yang dianut negara, juga guru, orang tua, masyarakat dan bahkan dunia.
2.Asas Psikologis
Dlam asas psikologis dibagi menjadi 2, yaitu :
a. Psikologi Anak, sekolah didirikanuntuk kepentingan anak yakni menciptakan situasi-situasi dimana anak dapat belajar untuk mengembangkan bakat dan potensinya. Kurikulum yang sangat berorientasi pada minat dan perkembangan anak disebut “child centered curriculum”.
b. Psikologi Belajar, pendidikan di sekolah diberikan dengan kepercayaan dan keyakinan bahwa anak-anak dapat dididik, dapat dipengaruhi perilakunya. Anak-anak dapat belajar, meguasai sejumlah pengetahuan, dapat mengubah sikapnya, dapat menerima norma-norma dan dapat menguasai sejumlah keterampilan.



3.Asas Sosiologis
Anak tidak hidup sendiri, terisolasi dari manusia lainnya. Ia hidup dalam suatu masyarakat. Disitu ia harus memenuhi tugas-tugas yang harus dilaksanakannya dengan penuh tanggung jawab, baik sebagai anak maupun sebagai orang dewasa kelak. Tiap anak akan berbeda latar belakang kebudayaannya. Perbedaan ini harus dipertimbangkan dalam kurikulum, disamping perubahan yang terjadi di masyarakat akibat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

4.Asas Organisatoris
Persoalan yang terkait dengan asas ini ialah bagaimana bahan pelajaran akan disajikan. Pilihan manapun yang digunakan dalam mengorganisasikan kurikulum tidaklah berkaitan dengan soal baik dan buruk.














BAB 3 PENUTUP


3.1 Kesimpulan
Pengembangan kurikulum adalah kegiatan menghasilkan kurikulum pada tingkat satuan pendidikan atau proses yang mengaitkan satu komponen dengan yang lainnya untuk menghasilkan kurikulum. Pengembangan suatu kurikulum perlu dilakukan karena sesuai dengan beberapa peran yang diembannya peran konservatif, peran kritis dan evaluatif, dan peran kreatif. Jika masyarakatnya berubah, kurikulumnya juga harus disesuaikan. Jika tidak, maka sistem pendidikan formal yang ada akan ditinggalkan oleh masyarakat penggunanya.

3.2 Saran
Dengan dibuatnya makalah ini penulis berharap dapat memberikan sedikit pemahaman kepada siapaun yang membaca makalah ini berkaitan dengan pengembangan kurikulum dan penulis berharap kurikulum yang sekarang dan yang akan datang dapat berjalan sesuai dengan kondisi masyarakat setempat.














DAFTAR PUSTAKA

Dakir. 2004. Perencanaan dan Pengembangan Kurikulum. Jakarta : PT. Rineka Cipta
Furchan, Arief,dkk. 2005. Pengembangan Kurikulum Berbasis Kompetensi di Perguruan Tinggi Agama Isalam. Yogyakarta : Pustaka Belajar
Hamalik, Oemar. 2006. Manajemen Pengembangan Kurikulum. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya
Idi, Abdullah. 2007. Pengembangan Kurikulum. Yogyakarta : Ar – Ruzz Media

0 komentar:

KONSEP PENDIDIKAN MULTIKULTURAL

0 komentar


1. Pengertian Pendidikan Multikultural


Sebagai sebuah matakuliah baru, pengertian pendidikan multikultural sesungguhnya hingga saat ini belum begitu jelas dan masih banyak pakar pendidikan yang memperdebatkannya. Namun demikian, bukan berarti bahwa definisi pendidikan multikultural tidak ada atau tidak jelas. Sebetulnya, sama dengan definisi pendidikan yang penuh penafsiran antara satu pakar dengan fakar lainnya di dalam menguraikan makna pendidikan itu sendiri. Hal ini juga terjadi pada penafsiran tentang arti pendidikan multikultural.
Merujuk pendapat Andersen dan Cusher ( 1994:320 ), bahwa pendidikan multikutural dapat diartikan sebagai pendidikan mengenai keragaman kebudayaan. Kemudian, James Banks ( 1993:3 ) mendefinisikan pendidikan multikutural sebagai pendidikan untuk people of color. Artinya, pendidikan multicultural ingin mengeksplorasi perbedaan sebagai keniscayaan ( anugerah Tuhan). Kemudian, bagaimana kita mampu mensikapi perbedaan tersebut dengan penuh toleran dan semangat egaliter.
Sejalan dengan pemikiran di atas, Muhaemin el Ma’hady berpendapat, bahwa secara sederhana pendidikan multicultural dapat didefinisikan sebagai pendidikan tentang keragaman kebudayaan dalam meresponi perubahan demografis dan cultural lingkungan masyarakat tertentu atau bahkan dunia secara keseluruhan ( global ).
Dalam bukunya Multicultural Education: A Teacher Guide to Lingking Context, Process, and Content, Hilda Hernandez mengartikan pendidikan multicultural sebagai perspektif yang mengakui realitas politik, social, dan ekomomi yang dialami oleh maing-masing individu dalam pertemuan manusia yang kompleks dan beragan secara kultur, dan merefleksikan pentingnya budaya, ras, seksualitas dan gender, etnisitas, agama, status social, ekonomi, dan pengecualian-pengecualian dalam proses pendidikan. Atau, dengan lain kata, bahwa ruang pendidikan sebagai media transformasi ilmu pengetahuan ( transfer of knowledge ) hendaknya mampu memberikan nilai-nilai multikulturalisme dengan cara saling menghargai dan menghormati atas realitas yang beragam ( plural ), baik latar belakang maupun basis sosio budaya yang melingkupinya.
Pemikiran tersebut sejalan dengan pendapat Paulo Freire ( pakar pendidikan pembebasan ), bahwa pendidikan bukan merupakan “menara ganding” yang berusaha menjauhi realitas social dan budaya. Pendidikan, menurutnya harus mampu menciptakan tatanan masyarakat yang terdidik dan berpendidikan, bukan sebuah masyarakat yang hanya mengagungkan prestise social sebagai akibat kekayaan dan kemakmuran yang dialaminya.
Pendidikan multicultural ( Multicultural Education ) merupakan respons terhadap perkembangan keragaman hak bagi setiap kelompok. Dalam dimensi lain, pendidikan multicultural merupakan pengembangan kurikulum dan aktivitas pendidikan untuk memasuki berbagai pandangan, sejarah, prestasi dan perhatian terhadap orang-orang non Eropa ( Hilliard, 1991-1992 ). Sedangkan secara luas, pendidikan multicultural itu menckup seluruh siswa tanpa membedakan kelompok-kelompoknya seperti gender, etnic, ras, budaya, strata social dan agama.
James Banks ( 1994 ) menjelaskan, bahwa pendidikan multicultural memiliki beberapa dimensi yang saling berkaitan satu dengan yang lain, yaitu: Pertama, Content Integration, yaitu mengintegrasikan konsep mendasar, genegration. Yaitu mengintegrasikan konsep mendasar, genralisasi dan teori dalam mata pelajaran/ disiplin ilmu. Kedua, theknowledge construction process, yaitu membawa siswa untuk memahami implikasi budaya ke dalam sebuah mata pelajaran ( disiplin ). Ketiga, an equity paedagogy, yaitu menyesuaikan metode pengajaran dengan cara belajar siswa dalam rangka memfasilitasi prestasi akademik siswa yang beragam baik dari segi ras, budaya ( culture ) ataupun social ( social ). Keempat, prejudice reducation, yaitu mengidentifikasi karakteristik ras siswa dan menentukan metode pengajaran mereka. Kemudian, melatih, melatih kelompok untuk berpartisipasi dalam kegiatan olah raga, berinteraksi dengan seluruh staff dan siswa yang berbeda etnis dan ras dalam upaya menciptakan budaya akademik yang toleran dan inklusif. Dalam aktivitas pendidikan manapun, peserta didik merupakan sasaran ( objek ) dan sekaligus sebagai subjek pendidikan. Oleh sebab itu, dalam memahami hakikat peserta didik, para pendidik perlu dilengkapi pemahaman tentang cirri-ciri umum peserta didik. Setidaknya, secara umum peserta didik memiliki lima cirri yaitu:

Peserta didik dalam keadaan sedang berdaya, maksudnya ia dalam keadaan berdaya untuk menggunakan kemampuan, kemauan dan sebagainya.
Mempunyai keinginan untuk berkembang kea rah dewasa.
Peserta didik mempunyai latar belakang yang berbeda-beda.
Peserta didik melakukan penjelajahan terhadap alam sekitarnya dengan potensi-potensi dasar yang dimiliki secara individual.

Menurut Prof. HAR Tilaar, pendidikan multikutural berawal dari berkembangnya gagasan dan kesadaran tentang “interkulturalisme” sesuai Perang Dunia ( PD ) kedua. Kemunculan gagasan dan kesadaran “interkulturalisme” ini, selain terkait dengan perkembangan politik internasional diskriminasi rasial dan lain-lain, juga karena meningkatnya pluralitas ( keberagaman ) di Negara-negara Barat sendiri sebagai akibat dari peningkatan migrasi dari Negara-negara baru merdeka ke Amerika dan Eropa.
Mengenai focus pendidika multicultural, Tilaar mengungkapkan bahwa dalam program pendidikan multicultural, focus tidak lagi diarahkan semata-mata kepada kelompok rasial, agama dan cultural domain atau mainstream. Focus seperti ini pernah menjadi tekanan pada pendidikan intercultural yang menekankan peningkatan pemahaman dan toleransi individual-individual yang berasal dari kelompok minoritas terhadap budaya mainstream yang dominant, yang pada akhirnya menyebabkan orang-orang dari kelompok minoritas terintegrasi ke dalam masyarakat mainstream. Pendidikan multicultural sebenarnya merupakan sikap “peduli” dan mau mengerti ( difference ), atau politics of recognition ( politik pengakuan terhadap orang-orang dari kelompok minoritas ).
Dalam konteks itu, pendidikan multicultural melihat masyarakat secara lebih luas. Berdasarkan pandangan dasar bahwa sikap “indifference” dan “non-recognition” tidak hanya berakar dari ketimpangan struktur rasial, tetapi paradigma pendidikan multicultural mencakup subjek-subjek mengenai ketidakadilan, kemiskinan, penindasan dan keterbelakangan kelompok-kelompok minoritas dalam berbagai bidang: social, budaya, ekonomi, pendidikan dan lain sebagainya. Paradigma seperti ini akan mendorong tumbuhanya kajian-kajian tentang “ethnic studies” untuk kemudian menemukan tempatnya dalam kurikulum pendidikan sejak dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi. Tujuan inti dari pembahasan tentang subjek ini adalah untuk mencapai pemberdayaan ( empowerment ) bagi kelompok-kelompok minoritas dan disadvantaged.
Istilah “pendidikan multicultural” dapat digunakan baik pada tingkat deskriptif dan normative, yang menggambarkan isu-isu dan masalah-masalah pendidikan yang berkaitan dengan masyarakat multicultural. Lebih jauh ia juga mencakup pengertian tentang pertimbangan terhadap kebijakan-kebijakan dan strategi-strategi pendidikan dalam masyarakat multicultural mestilah mencakup subjek-subjek seperti: toleransi, tema-tema tentang perbedaan etno-kultural dan agama, bahaya diskriminasi, penyelesaian konflik dan mediasi, HAM; demokrasi dan pluralitas, multikulturalisme, kemanusiaan universal dan subjek-subjek lain yang relevan.
Dalam konteks teoretis, belajar dari model-model pendidikan multicultural yang pernah ada dan sedang dikembangkan oleh Negara-negara maju, dikenal lima pendekatan, yaitu: pertama, pendidikan mengenai perbedaan kebudayaan atau multikulturalisme; kedua, pendidikan mengenai perbedaan kebudayaan atau pemahaman kebudayaan; ketiga, pendidikan bagi pluralisme kebudayaan; keempat, pendidikan dwi-budaya; kelima, pendidikan multicultural sebagai pengalaman moral manusia.
Sebetulnya, konsep pendidikan multicultural, utamanya di Negara-negara yang menganut konsep demokratis seperti Amerika Serikat dan Kanada, bukan hal yang baru lagi. Mereka telah melaksanakannya khususnya dalam upaya melenyapkan diskriminasi rasial antara orang kulit putih dan kulit hitam, yang bertujuan memajukan dan memelihara integritas nasional.
Pendidikan multicultural mengakui adanya keragaman etnik dan budaya masyarakat suatu bangsa, sebagaimana dikatakan R. Stavenhagen: Religious, linguistic, and national minoritas, as well as indigenous and tribal peoples were often subordinated, sometime forcefully and against their will, to the interest of the state and the dominant society. While many people… had to discard their own cultures, languages, religions and traditions, and adapt to the alien norms and customs that were consolidated and reproduced through national institutions, including the educational and legal system”.
Di Amerika, misalnya, muncul serangkaian konsep tentang pluralitas yang berbeda-beda, mulai dari melting pot sampai multikultiralisme. Sejak Columbus menemukan benua Amerika, berbagai macam bangsa telah menempati benua itu. Penduduk yang sudah berada di sana sebelum bangsa-bangsa Eropa membentuk koloni-koloni mereka di Amerika Utara, terdidi dari berbagai macam suku yang berbeda-beda bahasa dan budayanya. Tetapi, di mata bangsa Anglo Saxon yang menyebabkan koloni di abad ke-17, tanah di Negara baru itu adalah kawasan tak bertuan, dan bangsa-bangsa yang ditemui di benua baru itu tak lebih dari makhluk primitif yang merupakan bagian dari alam yang mesti ditaklukkan.
Dari perespektif kaum Puritan yang menjadi acuan utama sebagian besar pendatang dari Inggris tersebut, berbagai suku bangsa yang dilabeli secara generic dengan nama “Indian” adalah bangsa kafir pemuja dewa yang membahayakan kehidupan komunitas berbasis agama tersebut. Di sini terlihat bagaimana pandangan berperspektif tunggal sini terlihat bagaimana pandangan berperspektif tunggal yang datang dari budaya tertentu membutakan mata terhadap kenyataan keragaman yang ada.
Amerika Serikat ketika ingin membentuk masyarakat baru pasca kemerdekaannya pada 4 Juli 1776 baru disadari bahwa, masyarakatnya terdiri dari berbagai ras dan asal Negara yang berbeda. Oleh karena itu, dalam hal ini Amerika mencoba mencari terobosan baru, yaitu dengan menempuh strategi menjadikan sekolah sebagai pusat sosialisasi dan pembudayaan nilai-nilai baru yang dicita-citakan. Atau dalam bahasa lain, sekolah lain, sekolah sebagai medium transformasi budaya.
Melalui pendekatan inilah, dari SD sampai Perguruan Tinggi, Amerika Serikat berhasil membentuk bangsanya yang dalam perkembangannya melampaui masyarakat induknya yaitu Eropa. Kaitannya dengan nilai-nilai kebudayaan yang perlu diwariskan dan dikembangkan melalui system pendidikan pasa suatu masyarakat, maka Amerika Serikat memakai system demokrasi dalam pendidikan yang dipelopori oleh John Dewey. Intinya, toleransi tidak hanya diperuntukkan bagi kepentingan bersama, tetapi juga menghargai kepercayaan dan berinteraksi dengan anggota masyarakat.
Sehubungan dengan hal di atas, akhir-akhir ini di Indonesia sedang mencuat wacana baru dalam khazanah pemikiran pendidikan, yakni pendidikan multicultural. Sebagaimana diberitakan oleh salah satu media nasional di tanah air, bahwa saat ini perlu dibangun konsep pendidikan multicultural ( Kompas, 02/ 09/ 2004 ). Tentu, hal tersebut patut diapresiasi secara positif oleh semua kalangan yang peduli terhadap “nasib” pendidikan di negeri ini. Gagasan tersebut muncul dilatarbelakangi oleh beberapa sebab, salah satu di antaranya adalah globalisasi. Globalisasi melahirkan peluang, ancaman, dan tantangan bagi kehiduapan manusia di berbagai belahan bumi, termasuk imbasnya adalah kebudayaan bangsa ( culture and tradition ).
Menurut HAR Tilaar, bangsa yang tidak punya strategi untuk mengelola kebudayaan yang mendapat tantangan yang demikian dahsyatnya, dikhawatirkan akan mudah terbawa arus hingga akhirnya kehilangan jati diri local dan nasionalnya. Pendidikan multicultural hendaknya dijadikan strategi dalam mengelola kebudayaan dengan menawarkan strategi transformasi budaya yang ampuh yakni melalui mekanisme pendidikan yang menghargai perbedaan budaya ( different of culture ).
Hal senada juga dikatakan Rektor UNJ, Prof. Dr. Sutjipto, dan Dr. Cut Kamaril Wardani. Ia berpendapat, bahwa globalisasi sebagai tantangan global perlu diimbangi dengan penguatan budaya local ( local culture ). Namun demikian, fanatisme berlebihan pada budaya local berisiko menimbulkan disintegrasi bangsa. Maka, fanatisme dan primordialisme selayaknya dikikis habis. Di sinilah urgensi pendidikan multicultural untuk dihindarkan dalam dunia pendidikan kita saat ini sebab, pendidikan merupakan instrument paling ampuh untuk memberikan penyadaran ( conscious ) kepada masyarakat, supaya tidak timbul konflik etnis, budaya dan agama.

Paradigma Pendidikan Multikultural

Dalam buku Paradigma Pendidikan Universal ( Yogyakarta: IRCiSoD, 2004 ), Ali Maksum menggambarkan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang masyarakatnya sangat majemuk atau pluralis. Kemajemukan bangsa Indonesia dapat dilihat dari dua perspektif, yaitu: horizontal dan vertical. Dalam perspektif horizontal, kemajemukan bangsa kita dapat dilihat dari perbedaan agama, etnis, bahasa daerah, geografis, pakaian, makanan, dan budayanya. Sementara, dalam perspektif vertiakal, kemajemukan bangsa kita dapat dilihat dari perbedaan tingkat pendidikan, ekonomi, pemukiman, pekerjaan, dan tingkat social budaya.
Kemajemukan merupakan ciri khas bangsa Indonesia. Seperti diketahui, Indonesia merupakan Negara kepulauan dengan jumlah pulau terbesar di dunia, yang mencapai 17.667 pulau besar dan kecil. Dengan jumlah pulau sebanyak itu, maka wajarlah jika kemajemukan masyarakat di Indonesia merupakan suatu keniscayaan yang tidak bisa dielakkan. Dan perlu disadari bahwa perbedaan tersebut merupakan karunia dan anugerah Tuhan. Karena itulah, Usman Pelly ( 1988 ) menyatakan bahwa, meskipun setiap Warga Negara Indonesia ( WNI ) berbicara dalam satu bahasa nasional, namun kenyataannya terdapat 350 kelompok etnis, adat-istiadat, dan cara-cara sesuai dengan kondisi lingkungan tertentu.
Pada satu sisi, kemjemukan masyarakat memberikan side effect ( dampak ) secara positif. Namun, pada sisi yang lain, ia juga menimbulkan dampak negative, karena factor kemajemukan itulah justru terkadang sering menimbulkan kanflik antarkelompok masyarakat. Pada akhirnya, kenflik-konflik antarkelompok masyarakat tersebut akan melahirkan distabilitas keamanan, sosio-ekonomi, dan keridakharmonisan social ( social disharmony ). Pakar pendidikan, Syafri Sairin ( 1992 ), memetakan akar-akar konflik dalam masyarakat majemuk, yakni : ( 1 ) perebutan sumber daya, alat-alat produksi, dan kesempatan ekonomi ( acces to economic resources and to means of production ); ( 2 ) perluasan batas-batas social budaya ( social and cultural borderline expansion ); dan ( 3 ) benturan kepentingan politik, ideology, dan agama ( conflict of political, ideology and religious Interest ).
Menurut pandangan penulis, dalam menghadapi pluralisme budaya tersebut, diperlukan paradigma baru yang lebih toleran, yaitu paradigma pendidikan multicultural. Pendidikan berparadigma multikulturalisme tersebut penting, sebab akan mengarahkan anak didik untuk bersikap dan berpandangan toleran dan inklusif terhadap realitas masyarakat yang beragama, baik dalam hal budaya, suku, ras, etnis maupun agama. Paradigma ini dimaksudkan bahwa, kita hendaknya apresiatif terhadap budaya orang lain, perbedaan dan keberagaman merupakan kekayaan dan khazanah bangsa kita. Dengan pandangan tersebut, diharapkan sikap eksklusif yang selama ini bersemayam dalam otak kita dan sikap membenarkan pandangan sendiri ( truth claim ) dengan menyalahkan pandangan dan pilihan orang lain dapat dihilangkan atau diminimalisir.
Banyak bukti di negeri kita ini, tentang kerusuhan dan konflik yang berlatarbelakang SARA ( suku, adat, ras dan agama ). Fakta tersebut sebetulnya menunjukkan kegagalan pendidikan dalam menciptakan kesadaran pluralisme dan multikulturalisme. Symbol budaya, agama, ideology, bendera, baju dan sebagainya, itu sebenarnya boleh berbeda. Tetapi, pada hakikatnya kita satu, yaitu satu bangsa. Kita setuju dalam perbedaan ( agree in disagreement ). Pada dasarnya, manusia diciptakan Tuhan dengan berbeda jenis kelamin, bangsa, suku, warna kulit, budaya dan sebagainya, dan agar diketahui bahwa orang yang paling mulia di sisi Tuhan adalah yang paling baik amal perbuatannya ( bertaqwa ). Hal ini sejalan dengan ajaran Islam, sebagaimana termaktub dalam Al-que’an Surat al Hujurat ayat 13: “ Hai manusia, sesungguhnya kami menjadikan kamu dari laki-laki dan perempuan ( Bapak dan Ibu ), dan kami jadikan kamu berbangsa-bangsa ( bermacam-macam umat ) dan bersuku-suku, supaya kamu berkenal-kenalan. Sesungguhnya orang yang termulia di antara kamu di sisi Allah SWT ialah orang yang lebih taqwa. Sungguh Allah maha mengetahui lagi maha mengenal”. ( Al Hujurat: 13 ).
Pendidikan multicultural di sini juga dimaksudkan bahwa manusia dipandang sebagai makhluk macro dan sekaligus makhluk mikro yang tidak akan terlepas dari akar budaya bangsa dan kelompok etnisnya. Akar macro yang kuat akan menyebabkan manusia tidak pernah tercerabut dari akar kemanusiaannya. Sedangkan akar mikro yang kuat akan menyebabkan manusia mempunyai tempat berpijak yang kuat, dan dengan demikian tidak mudah diombang-ambingkan oleh perubahan yang amat cepat, yang menandai kehidupan modern dan pergaulan dunia global.
Pendidikan multikulturalisme biasanya mempunyai ciri-ciri:
I. Tujuannya membentuk “manusia budaya” dan menciptakan “masyarakat berbudaya ( berperadaban )”.
II. Materinya mengajarkan nilai-nilai luhur kemanusiaan, nilai-nilai bangsa, dan nilai-nilai kelompok etnis ( cultural ).
III. Metodenya demokratis, yang menghargai aspek-aspek perbedaan dan keberagaman budaya bangsa dan kelompok etnis ( multikulturalis ).
IV. Evaluasinya ditentukan pada penilaian terhadap tingkah laku anak didik yang meliputi persepsi, apresiasi, dan tindakan terhadap budaya lainnya.
Menurut M. Khoirul Muqtafa ( 2004 ), paradigma multicultural yang marak didengungkan sebagai langkah alternatif dalam rangka mengelola masyarakat multikultur seperti di Indonesia tampaknya masih menjadi wacana belaka. Gagasan genuine ini belum mampu diejawantahkan, baik oleh masyarakat maupun pemerintahan, dalam tindakan praksis. Apa yang mengemuka sepanjang tahun 2003 lalu hingga sekarang merupakan indikasi nyata hal ikhwal di atas.
Sebagai tamsil adalah fenomena ( di )muncul(kan)nya UU “kontroversi” sisdiknas yang sengaja didesakkan “kelomok mayoritas”. Masih munculnya keinginan sekelompok orang supaya hukum-hukum yang bersumber dari agama yang diperluknya dilegalisasi masuk ke dalam KUHP tanpa proses objektifikasi ( Formalisasi Syariah ). Kasus RUU Kerukunan Beragama yang sangat kental dengan aroma intervensi Negara yang deterministic dalam kehidupan umat beragama juga menandai betapa lemahnya nalar multicultural dalam “nalar” bangsa ini.
Masalah ini sungguh memprihatinkan ketika kita menilik kembali latar sosiologis-antropologis bangsa ini. Indonesia adalah masyarakat majemuk, baik secara horizontal maupun vertical. Secara horizontal, berbagai kelompok masyrakat yang kini dikategorikan sebagai “Bangsa Indonesia” dapat dipilah-pilah ke dalam berbagai suku bangsa, kelompok penutur bahasa atau ke dalam golongan penganut ajaran agama yang berbeda satu dengan lainnya. Sedangkan secara vertical, berbagai kelompok masyarakat itu dapat dibeda-bedakan atas dasar meminjam istilah Karl Marx mode of production yang bermuara pada perbedaan kelas social dan budaya. Dalam realitas-empirik, kenyataan ini justru kerap di(ter)abaikan. Yang terjadi seringkali bukannya penghargaan dan pengakuan atas kehadiran yang lain, tetapi upaya untuk “mempersamakan” ( conformity ) atas nama persatuan dan kesatuan.
Sejumlah kebijakan politik yang sangat sentralistik pada masa Orde Baru yang memaksakan ideology “monokulturalisme” yang nyaris seragam, seperti, developmentalisme dan uniformitas, merupakan bukti nyata. Maka, tak aneh kalau kemudian monokulturalime ini memunculkan reaksi balik atau resistensi dari pihak lawan dan mengandung implikasi-implikasi negatif ( side effect ) bagi rekonstruksi kebudayaan Indonesia yang multicultural. Berbarengan dengan proses otonomisasi dan desentralisasi kekuasaan pemerintahan sejak 1999, terjadi peningkatan gejala “provinsialisme” yang hampir tumpang tidih dengan “etnisitas”. Politik identitas kelompok, seiring dengan menggejalanya komunalisme, makin menguat.
Konflik antarsuku maupun agama muncul bak cendawan di musim hujan. Kesatuan dan persatuan yang diidam-idamkan selama ini ternyata semubelaka. Yang mengemuka kemudian adalah kepentingan antarsuku, daerah, ras ataupun agama dengan mengenyampingkan realitas atau kepentingan yang lain. Bahkan, tak jarang suatu kelompok menghalalkan segala cara demi mewujudkan kepentingan ini. Ironis memang, perbedaan yang seharusnya tidak dijadikan alasan dan halangan untuk bersatu, namun justru dijadikan alasan untuk bermusuh-musuhan atas nama perbedaan.
Factor lain yang turut menyebabkan mandulnya pendidikan multicultural pada tingkat praksis bisa jadi disebabkan masih dominannya wacana “toleransi” dalam menyikapi realitas multicultural tersebut. Toleransi hanya mungkin terjadi apabila orang rela merelativisasi klaim-klaimnya sebagaimana diungkapkan oleh Richard Rorty, seorang filsuf neo-pragmatis. Penghargaan atas yang lain sebagaimana dibayangkan dalam “toleransi” memang dibutuhkan. Namun, toleransi seringkali terjepak pada ego-sentrisme. Ego-sentrisme di sini adalah sikap saya mentoleransi yang lain demi saya sendiri. Artinya, setiap perbedaan mengakui perbedaan lain demi menguatkan dan mengawetkan perbedaannya sendiri ( I am what I am not ). Yang terjadi kemudian adalah ko-eksistensi bukannya pro-eksistensi yang menuntut kreativitas dari tiap individu yang berbeda untuk merenda dan merajut tali-temali kebersamaan. Tak aneh kalau kemudian yang muncul bukannya situasi rukun tetapi situasi acuh tak acuh ( indifference ).
Sampai di sini, layak kita meneguhkan kembali paradigma multicultural tersebut. Peneguhan ini harus lebih ditekankan pada persoalan kompetensi kebudayaan sehingga tidak hanya berkutat pada aspek kognitif melainkan beranjak ke aspek psikomotorik dan efektif. Peneguhan ini dimaksudkan untuk mendedahkan kesadaran bahwa multikulturalisme, sebagaimana diungkap Goodenough ( 1976 ), adalah pengalaman normal manusia. Ia ada dan hadir dalam realitas empiric. Untuk itu, pengelolaan masyarakat multicultural Indonesia tidak bisa dilakukan secara taken for granted atau trial and error. Sebaliknya, harus diupayakan secara sistematis, programatis, integrated, dan berkesinambungan ( continue ). Di sinilah fungsi strategis pendidikan multicultural sebagai sebuah proses di mana seseorang mengembangkan kompetensi dalam beberapa system standar untuk mempersepsi, mengevaluasi, meyakini, dan melakukan tindakan.
Dalam melaksanakan pendidikan multicultural ini mesti dikembangkan prinsip solidaritas. Yakni, kesiapan untuk berjuang dan bergabung dalam perlawanan demi pengakuan perbedaan yang lain dan bukan demi dirinya sendiri. Solidaritas menuntut agar kita melupakan upaya-upaya penguatan identitas; melainkan menuntut kita agar berjuang demi dan bersama yang lain. Dengan berlaku demikian, kehidupan multicultural yang dilandasi kesadaran akan eksistensi dari tanpa merendahkan yang lain diharapkan segera terwujud.

Pendekatan Pendidikan Multikultural

Men-design pendidikan multicultural dalam tatanan masyarakat yang penuh permasalahan antar kelompok, budaya, suku dan lain sebagainya, seperti Indonesia, mengandung tantangan yang tidak ringan. Perlu disadari bersama, bahwa pendidikan multicultural tidak hanya sebatas “merayakan keragaman”. Apalagi, jika tatanan masyarakat yang ada masih penuh diskriminasi dan bersifat rasis. Apakah mungkin meminta siswa yang dalam kehidupan sehari-harinya mengalami diskriminasi atau penindasan karena warna kulitnya, atau perbedaannya dari budaya yang dominant, akan berjalan dengan aman dan harmoni?
Dalam kondisi demikian, pendidikan multicultural lebih tetap diarahkan sebagai advokasi untuk menciptakan masyarakat yang toleran. Untuk mencapai sasaran tersebut, diperlukan sejumlah pendekatan. Ada beberapa pendekatan dalam proses pendidikan multicultural. Pertama, tidak lagi menyamakan pandangan pendidikan ( education ) dengan persekolahan ( schooling ), atau pendidikan multicultural dengan program-program sekolah formal. Pandangan yang lebih luas mengenai pendidikan sebagai transmisi kebudayaan membebaskan pendidikan dari asumsi keliru bahwa tanggung jawab primer mengembangkan kompetensi kebudayaan di kalangan anak didik semata-mata berada di tangan mereka; tapi justru semakin banyak pihak yang bertanggung jawab, karena program-program sekolah seharusnya terkait dengan pembelajaran informal di luar sekolah.
Kedua, menghindari pandangan yang menyamakan kebudayaan dengan kelompok etnik. Artinya, tidak perlu lagi mengasosiaasikan kebbudayaan semata-mata dengan kelompok-kelompok etnik sebagaimana yang terjadi selama ini. Secara tradisional, para pendidik lebih mengasosiasikan kebudayaan dengan kelompok-kelompok social yang relative self sufficient, ketimbang dengan sejumlah orang yang secara terus-menerus dan berulang-ulang terlibat satu sama lain dalam satu atau lebih kegiatan. Dalam konteks pendidikan multicultural, pendekatan ini diharapkan dapat mengilhami para penusun program pendidikan multicultural untuk melenyapkan kecendrungan memandang anak didik secara stereotype menurut identitias etnik mereka; sebaliknya mereka akan meningkatkan eksplorasi pemahaman yang lebih besar mengenai kesamaan dan perbedaan di kalangan anak didik dari berbagai kelompok etnik.
Ketiga, karena pengembangan kompetensi dalam suatu “kebudayaan baru” biasanya membutuhkan interaksi ini siatif dengan orang-orang yang sudah memiliki kompetensi, maka dapat dilihat lebih jelas bahwa upaya untuk mendukung sekolah-sekolah yang terpisah secara etnik merupakan antitesis terhadap tujuan pendidikan multicultural. Mempertahankan dan memperluas solidaritas kelompok akan menghambat sosialisasi ke dalam kebudayaan baru. Pendidikan bagi pluralisme budaya dan pendidikan multicultural tidak dapat disamakan secara logis.
Keempat, pendidikan multicultural meningkatkan kompetensi dalam beberapa kebudayaan. Kebudayaan mana yang akan diadopsi, itu ditentukan oleh situasi dan kondisi secara proporsional. Kelima, kemungkinan bahwa pendidikan ( baik formal maupun non formal ) meningkatkan kesadaran tentang kompetensi dalam beberapa kebudayaan. Kesadaran seperti ini kemudian akan menjauhkan kita dari konsep dwi budaya atau dikotomi antara pribumi dan non pribumi.
Dikotomi semacam ini akan membatasi individu untuk sepenuhnya mengekspresikan diversitas kebudayaan. Pendekatan ini meningkatkan kesadaran akan multikulturalisme sebagai pengalaman normal manusia. Kesadaran ini mengandung makna bahwa pendidikan multicultural berpotensi untuk menghindari dikotomi dan mengembangkan apresiasi yang lebih baik melalui kompetensi kebudayaan yang ada pada diri anak didik.
Dalam konteks ke-Indonesia-an dank e-bhineka-an, kelima pendekatan tersebut haruslah diselaraskan dengan kondisi masyarakat Indonesia. Masyarakat adalah kumpulan manusia atau individu-individu yang terejawatahkan dalam kelompok social dengan suatu tantangan budaya atau tradisi tertentu. Pendaat ini juga dikemukakan oleh Zakiah Darajat, yang menyatakan bahwa masyarakat secara sederhana diartikan sebagai kumpulan individu dan kelompok yang diikat oleh kesatua Negara, kebudayaan dan agama.
Jadi, dapat dipahami bahwa inti masyarakat adalah kumpulan besar individu yang hidup dan bekerja sama dalam masa relative lama, sehingga individu-individu tersebut dapat memenuhi kebutuhan mereka dan menyerap watak social. Kondisi tersebut selanjutnya membuat sebagian mereka menjadi komunitas terorganisir yang berpikir tentang dirinya dan membedakan ekstensinya dari ekstensi komunitas. Dari sisi lain, apabila kehidupan dalam masyarakat berarti interaksi antara individu dan lingkungan sosialnya, maka yang membentuk individu tersebut adalah pendidikan atau, dengan istilah lain, masyarakat pendidik.
Oleh karena itu, dalam pendekatan pendidikan multicultural juga diperlukan kajian dasar terhadap masyarakat. Secara garis besar dasar-dasar tentang masyarakat yang dimaksud adalah sebagai berikut:

Masyarakat tidak ada dengan sendirinya. Masyarakat aadalah ekstensi yang hidup, dinamis, dan selalu berkembang.
Masyarakat bergantungan pada upaya setiap individu untuk memenuhi kebutuhan melelui hubungan dengan individu lain yang berupaya memenuhi kebutuhan masing-masing.
Individu-individu, dalam berinteraksi dan berupaya bersama guna memenuhi kebutuhan, melakukan penataan terhadap upaya tersebut dengan jalan apa yang disebut tantangan social.
Setiap masyarakat bertanggung jawab atas pembentukan pola tingkah laku antara individu dan komunitas yang membentuk masyarakat.
Pertumbuhan individu dalam komunitas, keterikatan dengannya, dan perkembangannya dalam bingkai yang menuntunnya untuk bertanggung jawab terhadap tingkah lakunya.

Bila penjelasan di atas ditarik di dunia pendidikan, maka akan tampak bahwa masyarakat sangat besar peranan dan pengaruhnya terhadap perkembangan intelektual dan keperibadian individu peserta didik. Sebab, keberadaan masyarakat merupakan laboratorium dan sumber macro yang penuh alternative untuk memperkaya pelaksanaan proses pendidikan berbasis multicultural.
Untuk itu, setiap anggota masyarakat memiliki peranan dan tanggung jawab moral terhadap terlaksananya proses pendidikan multicultural. Hal ini disebabkan adanya hubungan timbale balik antara masyarakat dan pendidikan. Dalam upaya memperdayakan masyarakat dalam dunia pendidikan merupakan satu hal penting untuk kemajuan pendidikan di masa kini dan akan datang.

Pendidikan Berbasis Multikultural

Sejak kemunculannya sebagai sebuah disiplin ilmu pada decade 1960-an dan 1970-an, pendidikan berbasis multikulturalisme atau Multicultural Based Education, selanjutnya di singkat ( MBE ), telah didefinisikan dalam banyak cara dan dari berbagai perspektif. Dalam terminology ilmu-ilmu pendidikan dikenal dengan peristilahan yang hampir sama dengan MBE, yakni pendidikan multicultural ( multicultural education ) seperti yang dipakai dalam konteks kehidupan multicultural Negara-negara Barat. Sejumlah definisi terikat dalam disiplin ilmu tertentu, seperti pendidikan antropologi, sosiologi, psikologi dan lain sebagainya.
Dalam buku Multicultural Education: A Teacher Guide to Lingking Context, Process, and Content, karya seorang pakar pendidikan multicultural dari California State University, Amerika Serikat, Hilda Hernandez, telah diungkap dua definisi “klasik” untuk menekankan dimensi konseptual MBE yang penting bagi para pendidik. Definisi pertama menekankan esensi MBE sebagai perspektif yang mengakui realitas politik, social, dan ekonomi yang dialami oleh masing-masing individu dalam pertemuan manusia yang kompleks dan beragam ( plural ) secara kultur. Definisi ini juga bermaksud merefleksikan pentingnya budaya, ras, gender, etnisitas, agama, status social, ekonomi, dan pengecualian-pengecualian dalam proses pendidikan.
Dalam satu decade terakhir, Hernandez mengembangkan sebauh definisi operasional tentang MBE. Dalam konseptualisasinya, MBE adalah sebuah kegiatan pendidikan yang bersifat empowering. Oleh karenanya, MBE, menurut Hernandez, adalah sebuah visi tentang pendidikan yang selayaknya dan seharusnya bisa untuk semua anak didik.
Berkaitan dengan anak didik, MBE menyoal tentang etnisitas, gender, kelas, banhasa, agama, dan perkecualian-perkecualian yang memenuhi, membentuk, dan mempola tiap-tiap individu sebagai makhluk budaya. MBE adalah hasil perkembangan seutuhnya dari konstelasi/ interaksi unik masing-masing individu yang memiliki kecerdasan, kemampuan, dan bakat. MBE mempersiapkan anak didik bagi kewarganegaraan ( citizenship ) dalam komunitas budaya dan bahasa yang majemuk dan saling terkait.
MBE juga berkenaan dengan perubahan pendidikan yang signifikan. Ia menggambarkan realitas budaya, politik, social dan ekonomi yang kompleks, yang secara luas dan sentematis memengaruhi segala sesuatu yang terjadi di dalam sekolah dan luar ruangan. Ia menyangkut seluruh aset pendidikan yang termanifesikan melalui konteks, proses, dan muatan ( content ). MBE menegaskan dan memperluas kembali praktik yang patut dicontoh, dan berupaya memperbaiki berbagai kesempatan pendidikan optimal yang tertolak. Ia memperbincangkan seputar penciptan lembaga-lembaga pendidikan yang menyediakan lingkungan pembelajaran yang dinamis, yang mencerminkan cita-cita persamaan, kesetaraan dan keunggulan.

Wacana Pendidikan Multikultural di Indonesia

Hingga saat ini, wacanapendidikan multicultural di Indonesia belum tuntas dikaji oleh berbagai kalangan, termasuk para pakar dan pemerhati pendidikan sekalipun. Buku ini dimaksudkan sebagai sumbangsih pemikiran terhadap fenomena actual tentang wacana baru dalam dunia pendidikan di Indonesia, yakni pendidikan multicultural.
Perlu diketahui, bahwa di Indonesia pendidikan multicultural relative baru dikenal sebagai suatu pendekatan yang dianggap lebih sesuai bagi masyarakat Indonesia yang heterogen, plural. Terlebih pada masa otonomi dan desentralisasi yang baru diberlakukan sejak 1999 hingga saat ini. Pendidikan multicultural yang dikembangkan di Indonesia sejak dengan pengembangan demokrasi yang dijalankan sebagai counter terhadap kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah ( otoda ). Apabila hal itu dilaksanakan dengan tidak berhati-hati, justru mungkin akan menjerumuskan kita ke dalam perpecahan nasional ( disintegrasi bangsa dan separatisme ).
Menurut Azyumardi Azra, pada level nasional, berakhirnya sentralisme kekuasaan yang pada masa Orde Baru memaksakan “monokulturalisme” yang nyaris seragam, memunculkan reaksi balik, yang mengandung implikasi negative bagi rekonstruksi kebudayaan Indonesia yang multicultural. Berbarengan dengan proses otonomisasi dan desentralisasi kekuasaan pemerintahan, juga terjadi peningkatan fenomena/ gejala “provinsialisme” yang hampir tumpang tindih dengan “etniitas”. Kecenderungan ini, jika tidak terkendali, akan dapat menimbulkan tidak hanya disintegrasi sosio-kultural yang amat parah, bahkan juga disintegrasi politik.
Model pendidikan di Indonesia, juga di Negara-negara lain, menunjukkan keragaman tujuan yang menerapkan strategi dan sarana yang dipakai untuk mencapainya. Sejumlah kritikus melihat, bahwa revisi kurikulum sekolah yang dilakukan dalam proses pendidikan multicultural di Inggris dan beberapa tempat di Australia dan Kanada, terbatas pada keragaman budaya yang ada; jadi, terbatas pada dimensi kognitif.
Penambahan informasi tentang keragaman budaya merupakan model pendidikan multicultural yang mencakup revisi atau materi pembelajaran, termasuk revisi buku-buku teks. Terlepas dari kritik atas penerapannya di beberapa tempat, revisi pembelajaran seperti yang terjadi di Amerika Serikat merupakan strategi yang dianggap paling penting dalam reformasi pendidikan dan kurikulum. Penulisan kembali sejarah Amerika dari perspektif yang lebih beragam merupakan suatu agenda pendidikan yang diperjuangkan intelektual, aktivis dan praktisii pendidikan .
Di Jepang, aktivis kemanusiaan melakukan advokasi serius untuk merevisi buku sejarah, terutama yang menyangkut peran Jepang pada Perang Dunia II di Asia. Walaupun belum diterima, usaha ini sudah mulai membuka mata sebagai masyarakat akan pentingnya perspektif baru tentang perang, agar tragedy kemanusiaan tidak terulang kembali. Sementara, di Indonesia masih diperlukan usaha yang panjang dalam merevisi buku-buku teks agar mengakomodasi kontribusi dalam pertisipasi yang lebih inklusif bagi warga dari berbagai latar belakang suku, agama, budaya dan etnis. Di Indonesia juga memerlukan materi pembelajaran yang bisa mengatasi “dendam sejarah” di berbagai wilayah.
Model lainnya, pendidikan multicultural tidak sekedar merevisi materi pembelajaraan, tetapi juga melakukan reformasi dalam system pembelajaran itu sendiri. Affirmative Action dalam seleksi siswa sampai rekrutmen tenaga pengajar di Amerika adalah salah satu strategi untuk membuat perbaikan ketimpang struktural terhadap kelompok minoritas. Contoh yang lain adalah model “sekolah pembauran” Iskandar Muda di Medan yang memfasilitasi interaksi siswa dari berbagai latar belakang budaya dan menyusun program anak asuh lintas kelompok. Di Amerika Serikat, bersamaan dengan masuknya wacana tentang multikulturalisme, dilakukan berbagai lokakarya di sekolah-sekolah maupun di masyarakat luas untuk meningkatkan kepekaan social ( sense of crisis ), toleransi dan mengurangi prasangka antarkelompok.
Untuk mewujudkan model-model tersebut, pendidikan multicultural di Indonesia perlu memakai kombinasi model yang ada, agar, seperti yang diajukan Gorski, pendidikan multicultural dapat mencakup tiga jenis transformasi:
( 1 ) transformasi diri; ( 2 ) transformasi sekolah dan proses belajar mengajar, dan ( 3 ) transformasi masyarakat.
Selain itu, wacana pendidikan multicultural dimungkinkan akan terus berkembang seperti bola salju ( snow ball ) yang menggelinding semakin membesar dan ramai diperbincangkan. Dan yang lebih penting dan kita harapkan adalah, wacana pendidikan multicultural akan dapat diberlakukan dalam dunia pendidikan di negeri yang multicultural ini. Apakah nantinya terwujud dalam kurikulum, materi, dan metode, ataukah dalam wujud yang lainnya.

Pendidikan Multikultural dan Pendidikan Global

Gambaran dunia saat ini tampak terasa semakin sempit. John Naisbit dalam Mega Trend 2000 juga menggambarkan demikian. Demikian pula Alvin Tofler seorang pakar sejarah dunia, juga menyebut demikian. Bahwa, Dunia telah menjadi kampung besar ( global village ), sebagaimana dikemukakan oleh ahli komunikasi Kanada, McLuhan. Bahwa, di era globalisasi dewasa ini kita tidak dapat melepaskan diri dari kehidupan global. Apakah perbedaan mendasar antara pendidikan multicultural dan pendidikan global?
Pendidikan multicultural dapat kita rumuskan sebagai studi tentang keanekaragaman cultural, hak asasi manusia, dan pengurangan atau penghapusan berbagai jenis prasangka demi membangun suatu kehidupan masyarakat yang adil dan tentram. Apa kaitan pendidikan multicultural dengan pendidikan global? Untuk menjawab pertanyaan ini, barangkali perlu kita rumuskan beberapa inti dari pendidikan multicultural. Pendidikan multicultural berarti mengembangkan kesadaran atas kebanggaan seseorang terhadap bangsanya ( the pride in ones home nation ) dengan demikian, pendidikan global tidak mengurangi pengembangan kesadaran akan kebanggaan terhadap suatu bangsa. Oleh sebab itu, dalam arti sebenarnya, tidak ada pendidikan global, yang ada adalah pendidikan dalam perspektif global.
Dalam pendidikan multicultural, dapat diidentifikasikan perkembangan sikap seseorang dalam kaitannya dengan kebudayaan-kebudayaan lain dalam masyarakat local sampai kepada masyarakat dunia global James banks mengemukakan beberapa tipologi sikap seseorang terhadap identitas etnik atau cultural identity, yaitu:

Ethnic psychological captivy. Pada tingkat ini, seseorang masih terperangkap dalam stereotype kelompoknya sendiri, dan menunjukkan rasa harga diri yang rendah. Sikap tersebut menunjukkan rasa harga diri yang rendah. Sikap tersebut menunjukkan sikap kefanatikan terhadap nilai-nilai budaya sendiri dan menganggap budaya lainnya inferior.
Ethnic encapsulation. Pribadi demikian juga terperangkap dalam kapsul kebudayaannya sendiri terpisah dari budaya lain. Sikap ini biasanya mempunyai perkiraan bahwa hanya nilai-nilai budayanya mempunyai sikap curiga terhadap budaya atau bangsa lain.
Ethnic identifities clarification. Pribadi macam ini mengembangkan sikapnya yang positif terhadap budayanya sendiri dan menunjukkan sikap menerima dan memberikan jawaban positif kepada budaya-budaya lainnya. Untuk mengembangkan sikap yang demikian maka seseorang lebih dahulu perlu mengetahui beberapa kelemahan budaya atau bangsannya sendiri.
The ethnicity. Pribadi ini menunjukkan sikap yang menyenangkan terhadap budaya yang datang dari etnis lain, seperti budayanya sendiri.
Multicultural ethnicity. Pribadi ini menunjukkan sikap yang mendalam dalam menghayati kebudayaan lain di lingkungan masyarakat bangsanya.
Globalism. Pribadi ini dapat menerima di berbagai jenis budaya dan bangsa lain. Mereka dapat bergaul secara internasional dan mengembangkan keseimbangan keterkaitannya terhadap budaya bangsa dan budaya global.

Menuju Multikulturalisme Global

Berkenaan dengan cita-cita untuk mewujudkan tatanan multikulturalisme global, di sini patut dikemukakan tulisan Muhamad Ali, dosen UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, berjudul “Menuju Multikulturalisme” ( kompas, 3 Januari 2004 ). Bahwa, dalam beberapa decade terakhir, masyarakat masih dipertontonkan hubungan internasional yang penuh gejolak. Ketika perang dingin antara Amerika Serikat dan Uni Soviet ( USSR ) berakhir, ternyata sejarah konflik tidak benar-benar berakhir, sebagagaimana dugaan Francis Fukuyama dalam Magnum Opus-nya “The End of History, yang sangat fenomenal di Amerika.
Konflik Palestina-Israel dan invasi Amerika Serikat ( AS ) beserta sekutunya terhadap Irak, itu menunjukkan bahwa tata dunia belum seimbang dan belum stabil. Karakter baik-buruk manusia tidaklah berubah. Aktor-aktor masa kini, dengan berbagai nama dan identitas, baik yang lama maupun yang baru, ternyata tetap berselisih. Beberapa pendapat, kepentingan, ideology, agama, bahasa, kebudayaan, dan peradaban, itu semua menjadi alasan untuk saling berkonflik.realitas tersebut mengundang akademisi Amerika, Samuel P Huntington, untuk menulis karya kontroversialnya The Clash of Civilization ( Benturan antar Peradaban ). Karya tersebut, mempunyai asumsi dasar bahwa setelah kemenangan liberalisme dan kapitalisme global atas sosialisme komunisme, akan terjadi benturan peradaban antara budaya barat ( Amerika ) dengan budaya timur ( Islam ).
Namun demikian, mesti kita sendiri bahwa karakter dunia hingga detik ini sebetulnya masih tetap multicultural. Jika di masa pra-modern kekuatan-kekuatan politik dalam bentuk dinasti, kerajaan, kesukuan, dan keagamaan yang dominan; di masa modern, Negara bangsa ( nation state ) menjadi actor yang sangat dominant, mengalahkan kekuatan-kekuatan lain. Nasionalisme pun menjadi plural. Individu dan kelompok telah menjadikan Negara-negara sebagai identitas yang sangat penting dalam hubungan antarmanusia.
Dalam batas Negara-bangsa ( nation statee ), manusia memiliki budaya yang majemuk ( plural ), tetapi pada saat yang sama, mereka memiliki identitas budaya yang satu. Negara-bangsa begitu kuatnya sehingga budaya telah menjadi tunggal dalam kebudayaan nasional. Meskipun berbeda-beda tetap satu” ( unity in diversity ) menjadi slogan tidak hanya bagi bangsa Indonesia, tetapi juga Amerika Serikat, Malaysia, Kanada, Australia, dan banyak lagi Negara lain. Pada level ini, multikulturalisme dipahami dalam batas Negara-bangsa ( nation state ).
Bagaimana dengan perbedaan budaya antarbangsa? Bagaimana kebudayaan Indonesia, misalnya, bisa berinteraksi dengan kebudayaan Malaysia, kebudayaan Thailand, kebudayaan Iran, kebudayaan Inggris, dan sebagainya?
Multikulturalisme global berangkat dari kenyataan sejarah di mana budaya-budaya bangsa begitu majemuknya, sehingga monokulturalisme, budaya tunggal, tidak mungkin menjadi agenda sebuah Negara-bangsa untuk dipaksakan kepada bangsa-bangsa lain.
Pengertian budaya di sini tidak terbatas dalam seni, tetapi mencakup segala hal yang menjadi proses dan produk sebuah komunitas: agama, ideology, system hukum, system pembangunan, dan sebagainya.
Budaya dapat bersifat lintas Negara, tetapi ada juga budaya yang telah menjadi ciri khas Negara-bangsa tertentu. Misalnya, para pendiri Negara Indonesia telah menjadikan Pancasila sebagai bagian dari budaya national, karena merupakan akumulasi dari nilai-nilai bangsa Indonesia. Malaysia juga merupakan Negara-bangsa yang berkembang dari berbagai unsure budaya, yaitu: Melayu, India, Tionghoa, dan lain sebagainya.
Terlepas dari berapa kesamaan cultural antara mayoritas orang Indonesia dan orang Malaysia seperti bahasa dan agama kedua Negara bangsa ini memiliki perbedaan system dan budaya pembangunan. Di sinilah multikulturalisme antarbangsa menjadi penting.
Hal tersebut merupakan contoh hubungan antardua Negara yang berdekatan secara geografis dan cultural. Bagaimana hubungan antarnegara-negara yang sangat berbeda seperti AS dan Irak? AS dan Indonesia? Bagaimana dengan bangsa-bangsa yang terpinggirkan dalam konstelasi politik dan ekonomi internasional seperti Palestina dan Kashmir?
Multikulturalisme-nya Charles Taylor, Etika Global-nya Hans Kung, Overlapping Consensus-nya John Rawls, Dialog Peradaban-nya Muhammad Khatami, serta nilai-nilai Asia dan Global Convivencia-nya Anwar Ibrahim merupakan tesis-tesis yang mengarah pada sebuah hubungan global yang harmonis.
Pernah pula diusulkan berbagai tesis untuk membangun harmoni global, seperti World Peace Through World Law ( Clark and Sohn ) dan World Order Models Projects ( WOMP ). Di dalam berbagai tesis ini terdapat sikap menghindari absolutisme yang menegasikan segala yang lain, tetapi mendorong sikap skeptisisme epitimologis yang sehat, dan keinginan untuk bersikap kritis yang membuka jalan lagi bagi kemajemukan demi perdamaian global ( global peace ).
Bentuk-bentuk multikulturalisme global bermacam-macam dan sangat kontekstual. Sikap dan kebijakan luar negeri yang mengakui integritas nasional Negara-negara lain juga menjadi bagian dari sikap multicultural. Begitu pula sikap warga-warga terhadap warga Negara lain, sikap orang “Barat” terhadap orang “Timur” dan sebaliknya.
Multikulturalisme global juga bisa terjadi antara nasionalisme agama dan Negara sekuler ( Juergens Meyer ), antara nasionalisme liberal dan nasionalisme liberal, dan sebagainya. Multikulturalisme global menghargai bentuk-bentuk pemerintahan yang berbeda-beda. Multikulturalisme global menghindari sikap pemaksaan, seperti agresi militer dan pemaksaan budaya.
Multikulturalisme global juga bisa berbentuk sikap dan kebijakan luar negeri yang mengakui masyarakat bangsa minoritas ( politics of recognition ). Namun, pengakuan atas identitas kebangsaan tidak berhenti pada pengakuan formal. Multikulturalisme global menuntut perhatian dari bangsa yang kaya terhadap bangsa yang miskin, bangsa yang maju terhadap bangsa yang terbelakang dan bangsa sedang berkembang.
Menuju multikulturalisme global juga berarti menuju kemajemukan modernitas ( different modernities ). Misalnya saja, modernitas AS tidak selalu harus dipaksakan terhadap modernitas Irak, dan modernitas Malaysia berbeda dengan modernitas Indonesia.
Pemikir Maroko, Muhammad Abid Al-Jabiri, dalam Arab-Islamic Philosophy; a Contemporary Critique, misalnya, menawarkan modernisasi yang peduli dengan tradisi-tradisi budaya dan keagamaan karena “tidak ada satu modernitas yang absolute dan universal”. Yang ada adalah bermacam modernitas yang berbeda dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat lain. Modernitas Eropa berbeda dengan modernitas China, modernitas Jepang, modernitas Arab, modernitas Indonesia, dan seterusnya.
Perbedaan system moral membutuhkan dialog, bukan penghancuran yang satu atas yang lain. Lembaga-lembaga pendidikan dan budaya dapat menjadi model dialog, dengan cara mendorong diskusi yang jujur dan terbuka, Masyarakat yang memperjuangkan kebebasaan dan persamaan berdiri di atas perbedaan-perbedaan budaya. Janji moral multikulturalisme bergantung pada nilai-nilai saling mendengar dan saling menghargai.
Multikulturalisme global tidaklah bertentangan dengan humanisme global. Karena, multikulturalisme global tidak berarti membenarkan segala bentuk pengungkapan budaya seperti terorisme dan kekerasan. Multikulturalisme global mengakui politik universalisme yang menekankan harga diri semua manusia, serta hak dan kewajiban yang sama sebagai manusia ( human ). Tak ada warga dunia kelas satu dan warga dunia kelas dua. Humanisme, baik yang berdasarkan atas nilai-nilai transcendental seperti agama dan spiritualitas, maupun yang non-agama, sama-sama mengakui harga diri kemanusiaan ( humanity ). Menghargai perbedaan budaya ( different in culture ) adalah bagian dari nilai-nilai humanisme itu sendiri.
Contoh paling mutakhir tentang multikulturalisme global yang sejalan dengan humanisme global adalah bantuan humanitarian terhadap pemerintahan dan rakyat Aceh dan Sumetera Utara ( Sumut ) yang terkena musibah Gempa dan Tsumani. Dan sebelumnya bantuan kemanusiaan terhadap rakyat Iran yang baru saja terkena musibah gempa bumi, yang memakan korban lebih dari 30.000 jiwa dan menghancurkan bangunan-bangunan bersejarah.
Negara-negara Barat ( Amerika ) dan Aceh, Sumut ( Indonesia ) dan Iran secara ideologis dan pemerintahan sangat berbeda, tetapi atas dasar nilai-nilai humanisme, Negara-negara Barat menyatakan belasungkawa dan memberikan bantuan ke Aceh, Sumatera Utara ( Sumut ) dan Iran. Perbedaan ideologis dan budaya tidak mencegah Negara-negara dunia untuk menunjukkan etos solidaritas dalam bermacam-macam bentuk.
Paradigma multikulturalisme global kiranya menjadi jawaban alternative untuk mengatasi keretakan hubungan internasional. Di tahun-tahun mendatang, benturan antar nasionalisme dapat dikurangi dengan sebuah perubahan sikap dan kebijakan berbagai pemerintahan dan masyarakat sipil, dari sikap curiga dan memusuhi ke sikap saling menghargai. Dan kemudian, bekerja dalam menyelesaikan masalah-masalah bersama, seperti kekerasan, kemiskinan, dan kebodohan.
DAFTAR BACAAN
Freire, Paulo, 2000, Pendidikan Pembebasan ( Jakarta: LP3S )
Gollnick, Donna M. & Phillip C. Chinn, 2002, Multicultural Education in a Plutalistic Society ( New Jersey & Ohio: Prentice Hall )
Hernandez, Hilda, 1989, Multicultural Education: A Teacher Guide to Linking Context, Process, and Content ( New Jersey & Ohio: Prentic Hall ).
Maksum, Ali, Luluk Yunan Ruhendi, 2004, Paradigma Pendidikan Universal ( Yogyakarta: IRCiSoD )
Pelly, Usman dan Asih Menanti, 1994, Teori-Teori Sosial Budaya ( Jakarta: Dirjen Depdikbud )
Paul Gorski, Six Critical Paradigm Shifd for Multicultural Education and The Question We Should Be Asking, dalam www.exchange.org/multicultural.
Sleeter, C.E, 1999, Making Choice for Multicultural Education: Five Approaches to Race, Class and Gender ( New York: John Wiley & Sons )
Sairin, Syafri, 1992, Telaah Pengelolaan keserasian social dari literature luar negeri dan hasil penelitian Indonesia ( Jakarta: kerja sama meneg KLH dan UGM )
Stavenhagen, Rudolfo, 1996, Education for a Multicultural World, dalam Jasque Delors ( et all ), Lerarning: the treasure within, ( Paris: UNESCO )
Tilaar, H. A. R., 2002, Perubahan Sosial dan Pendidikan: Pengantar Pedagogik Transformatif untuk Indonesia ( Jakarta: Grasindo ).

0 komentar: