Stay in touch
Subscribe to our RSS!
Oh c'mon
Bookmark us!
Have a question?
Get an answer!

ARTIKEL TENTANG MORAL, AKHLAK DAN ETIKA

0 komentar
ARTIKEL TENTANG MORAL, AKHLAK DAN ETIKA

Dalam pandangan islam, akhlak merupakan cermin dari apa yang ada dalam jiwa seseorang. Karena itu akhlak yang baik merupakan dorongan dari keimanan seseorang, sebab keimanan harus ditampilkan dalam perilaku nyata sehari-hari.
Pada saat ini, kehidupan semakin sulit di mana kebutuhan semakin kompleks namun sarana pemenuhan kenutuhan terbatas. Ada sebagian orang yang belum dapat memenuhi kebutuhanya, sehingga menyebabkan beberapa dari mereka menghalalkan segala cara untuk bisa memenuhi kebutuhanya. Terutama pada saat ini banyak orang beranggapan bahwa harta adalah prioritas utama
Akhlak tercela tidak hanya terjadi pada orang dewasa saja namun juga terjadi pada sebagian besar para remaja. Remaja sering dikaitkan dengan masalah. Banyak pengaruh serta tekanan dari luar yang kebanyakan menjerumuskan kepada hal-hal yang negatif. Apabila sudah terpedaya pada hal-hal yang negatif, akhlak remaja mudah rusak sehingga menimbulkan berbagai masalah. Padahal pemuda adalah generasi penerus bangsa, namun pada kenyatanya sebagian besar remaja pada saat ini sudah terjerumus dalam hal negatif, seperti seks bebas, narkoba, dan lain-lain.

Pengertian Etika, Moral,dan Akhluk
Etika adalah sebuah tatanan perilaku berdasarkan suatu sistem tata nilai suatu masyarakat tertentu, Etika lebih banyak dikaitkan dengan ilmu atau filsafat, karena itu yang menjadi standar baik dan buruk itu adalah akal manusia. Jika dibandingkan dengan moral, maka etika lebih bersifat teoritis sedangkan moral bersifat praktis. Moral bersifat lokal atau khusus dan etika bersifat umum.
Moral berasal dari bahasa Latin mores yang berarti adat kebiasaan. Moral selalu dikaitkan dengan ajaran baik buruk yang diterima umum atau masyarakat. Karena itu adat istiadat masyarakat menjadi standar dalam menentukan baik dan buruknya suatu perbuatan.
Akhlak berasal dari kata “khuluq” yang artinya perang atau tabiat. Dan dalam kamus besar bahasa Indonesia, kata akhlak di artikan sebagai budi pekerti atau kelakuan. Dapat di definisikan bahwa akhlak adalah daya kekuatan jiwa yang mendorong perbuatan dengan mudah, spontan tanpa di pikirkan dan di renungkan lagi. Dengan demikian akhlak pada dasarnya adalah sikap yang melekat pada diri seseorang secara spontan diwujudkan dalam tingkah laku atau perbuatan. Apabila perbuatan spontan itu baik menurut akal dan agama, maka tindakan itu disebut akhlak yang baik atau akhlakul karimah (akhlak mahmudah). Misalnya jujur, adil, rendah hati, pemurah, santun dan sebagainya. Sebaliknya apabila buruk disebut akhlak yang buruk atau akhlakul mazmumah. Misalnya kikir, zalim, dengki, iri hati, dusta dan sebagainya. Baik dan buruk akhlak didasarkan kepada sumber nilai, yaitu Al Qur’an dan Sunnah Rasul

Perbedaan antara akhlak, moral dan etika
Perbedaan antara akhlak dengan moral dan etika dapat dilihat dari dasar penentuan atau standar ukuran baik dan buruk yang digunakannya. Standar baik dan buruk akhlak berdasarkan Al Qur’an dan Sunnah Rasul, sedangkan moral dan etika berdasarkan adat istiadat atau kesepakatan yang dibuat olehsuatu masyarakat jika masyarakat menganggap suatu perbuatan itu baik maka baik pulalah nilai perbuatan itu.
Dengan demikian standar nilai moral dan etika bersifat lokal dan temporal, sedangkan standar akhlak bersifat universal dan abadi. Dalam pandangan Islam, akhlak merupakan cermin dari apa yang ada dalam jiwa seseorang. Karena itu akhlak yang baik merupakan dorongan dari keimanan seseorang, sebab keimanan harus ditampilkan dalam prilaku nyata sehari-hari. Inilah yang menjadi misi diutusnya Rasul sebagaimana disabdakannya :“ Aku hanya diutus untuk menyempurnakan akhlak manusia.”(Hadits riwayat Ahmad).
Secara umum dapat dikatakan bahwa akhlak yang baik pada dasarnya adalah akumulasi dari aqidah dan syari’at yang bersatu secara utuh dalam diri seseorang. Apabila aqidah telah mendorong pelaksanaan syari’at akan lahir akhlak yang baik, atau dengan kata lain akhlak merupakan perilaku yang tampak apabila syari’at Islam telah dilaksanakan berdasarkan aqidah.

ARTIKEL TENTANG PENELITIAN PROFESI

Antara Fasilitator, Guru dan Sertifikasi Profesi
Ada beberapa peristiwa penting yang mewarnai bulan Mei dalam sejarah dunia maupun bangsa yang besar ini, seperti:
a. Tanggal 1 Mei diperingati sebagai Hari Buruh Sedunia.
b. Tanggal 2 Mei diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional.
c. Tanggal 20 Mei diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional.
d. Pun "Tragedi Berdarah Mei 1998" yang meruntuhkan rezim Orde Baru dan melahirkan orde reformasi hingga kini, terjadi di bulan Mei.
Agar tidak melebar, berdasarkan judul tulisan saya di atas, maka yang akan coba saya bahas kali ini adalah mengenai dunia pendidikan, khususnya nasib para pelaku-pelakunya, yang meliputi profesi Fasilitator dan profesi guru, dikaitkan dengan sertifikasi profesi bagi keduanya.
Kenapa?
Karena, katanya, merekalah yang menjadi ujung tombak di lapangan dalam mengawal pendidikan formal maupun informal yang ada di masyarakat kita—walaupun dengan berbagai sebutan yang berbeda dan sesuai. Di tingkat formal, mulai SD, SMP sampai SMA, mereka dipanggil "Guru". Di tingkat mahasiswa, mereka dipanggil "Dosen". Di tingkat non formal, dalam model Pendidikan Orang Dewasa (POD), biasa dipanggil "Fasilitator"—kadang pula disebut sebagai Tenaga Pendamping Masyarakat (TPM), kadang pula instruktur/pelatih, hingga aktivis “L.S-Eng”.
Nah, cuman sedihnya, sejak zaman "Oemar Bakri" hingga kini profesi guru kadang masih dipandang sebelah mata. Masih menjadi pilihan terakhir bagi cita-cita anak-anak kita setelah dokter, tukang insinyur, presiden, pramugara ataupun pramugari Sukhoi maupun dosen. Padahal dosen kan guru juga?
Kalau Fasilitator atau TPM malah lebih sedih lagi. Di tingkatan konsultan malah dianggap profesi paling rendahan, sering dijadikan “kambing hitam” oleh orang-orang yang ada di atas. Jika target project atau program tidak tercapai, di tingkat masyarakat, Faskel malah sering diancam, diintimidasi, dan diusir karena tidak mau diajak sepakat dengan "kepentingan" para pemangku kebijakan di lapangan.
Terus, bagaimana dengan kesejahteraan mereka?
Ya. Kita akan tertawa sekaligus menangis melihat keberadaan mereka. Di satu sisi mereka—para "Guru"—disebut sebagai Pahlawan Tanpa Tanda Jasa. Diagung-agungkan dalam nyanyian anak2 sekolahan, dijadikan puisi, dihujani kata-kata yang indah dalam acara-acara perpisahan maupun selamatan anak-anak sekolah yang berhasil lulus. Begitupun para "Fasilitator". Ketika masyarakat berhasil melaksanakan pembangunan, ucapan terima kasih pun bertubi-tubi kepada mereka.
Tetapi, di sisi lainnya, ironis, di mana-mana kita lihat, guru-guru masih jualan, bekerja serabutan di sela kesibukan mereka mengajar. Ada pula yang menjadi tukang ojek saat pulang sekolah, atau memberikan les tambahan sore dan malam agar ada tambahan penghasilan bulanan. Hingga profesi buruh lainnnya pun dilakoni.
Fasilitator juga, kurang lebih demikian; menjalani "profesi ganda” atau double job terpaksa dilakoni agar teuteup bisa bertahan hidup, menghidupi keluarganya, karena gaji pas-pasan. Di sisi lain, mereka mencoba menjaga integritas, (utamanya) ketika mengawal uang miliaran rupiah buat masyarakat. Agar tak bisa “dibeli” dengan iming-iming fee dari pihak-pihak/oknum-oknum yang menjual kemiskinan atas nama masyarakat. Pun, jika program tersendat atau macet, maka hujatan, cacian dan makian harus siap disematkan bagi mereka.
Sudah begitu, waktu kerja tidak menentu, karena mengikuti waktu luang masyarakat. Sementara itu, masyarakat mana pusing kalau persoalan administrasi harus mengikuti tahun anggaran, hingga terkadang keluar pagi pulangnya malam, tapi teuteup dianggap "tidak kerja", karena tidak kelihatan tetangga waktu pergi dan pulangnya.
Alhamdulillah, ketika adanya sertifikasi profesi bagi guru oleh pemerintah; begitu pula bagi Fasilitator, yang sementara ini tengah digodok di tingkat pusat, lahir harapan besar bagi perbaikan kesejahteraan mereka.
Sekarang, profesi "Guru" mulai kembali menjadi idola saat ini, karena iming-iming tunjangan sertifikasi yang diterima sebesar gaji mereka, yang akan dirapel setiap tiga bulanan. Walau proses sertifikasi belum semulus harapan berbagai pihak, bahkan masih ada protes atas siapa-siapa yang berhak mengikutinya dan keterbatasan anggaran pemerintah, sejauh ini titik terang kebangkitan kesejahteraan para guru mulai terlihat.
Contohnya, kini banyak guru yang mampu membeli mobil baru, rumah baru, insya Allah, perbaikan kesejahteraan sebanding dengan perbaikan mutu pendidikan bangsa ini. Amiiin
Lalu, bagaimana dengan fasilitator?
Walaupun sudah ada badan sertifikasi yang didirikan di Pusat dan oleh PNPM Mandiri Perkotaan di tingkat internal mereka, berdasarkan banyaknya pelatihan-pelatihan yang diikuti, sampai saat ini belum dirasakan geliatnya, bagaimana penerapannya di tingkat bawah. Selain minimnya informasi dari pihak-pihak di atas hingga menimbulkan ketakutan prosesnya nanti tidak transparan, banyak pula Fasilitator bingung: yang mana yang bisa disebut Fasilitator sebenarnya?
Apakah Fasilitator yang memiliki kontrak kerja sebagai Fasilitator, ataukah semua pekerja konsultan di proyek, ataupun program-program pemberdayaan yang ada mulai dari tingkat lapangan hingga team leader bisa disebut Fasilitator pula? Karena terkadang, ketika bertugas mengawal masyarakat, para pelaku di tingkat atas mengatakan, kerjakan tugas kalian sesuai tupoksi sebagai Fasilitator Teknik, Sosial dan Ekonomi di lapangan, seperti tertera di kontrak kerja yang kalian tandatangani!
Terus, kalau berdsar dari penafsiran kontrak kerja saja, kadang mereka tidak mengganggap sebagai Fasilitator, eeeh ketika muncul penilaian sertifikasi profesi tiba-tiba mereka mengaku-ngaku sebagai Fasilitator pula! Bah, kalau hanya melihat atas banyaknya pelatihan-pelatihan yang diikuti, otomatis orang-orang lama yang sudah menjabat di atas langsung lulus serifikasi dong? Sementara kita, yang di bawah, yang berdarah-darah, berkeringat dan bermandi air mata bercampur debu jalanan, akan terus dapat bagian yang paling sedikit pula jika sertifikasi diintegrasikan pada besarnya tunjangan maupun gaji yang ada. Nah lho?
Wooiiii, Tuan-tuan, gaji Anda sudah paling besaaar di atas sana! Sementara menginjak tanah berdebu saja kalian jarang. Eeeh.. kok pengen gajinya ditambah lagi oleh proses serifikasi?
Kalau mau "fair", mari turun ke lapangan.
Beri masyarakat "ruang" untuk memberikan penilaian atas nama kinerja dan profesionalisme yang kalian dengung-dengungkan dan doktrinkan kepada kami! Jangan selalu main belakang dengan alasan "sistemik". Laaaah, kaannn? (Prikitiuuwww...hihihi...)
By the way, anyway, busway.. Maaf, tulisan ini bukan untuk berburuk sangka ataupun mencari pembenaran liar. Mohon maaf jika "ada" yang tak berkenan, ya. Tapi, semoga dijadikan pertimbangan bagi para pengambil kebijakan di atas, agar saat memutuskan sebuah sistem yang menyangkut hak orang banyak bisa komprehensif melakukan uji kompetensinya, agar kesejahteraan bukan milik sebagian orang-orang dekat saja, dan keadilan atas nama "kerja sama dan bukan sama-sama kerja" bisa diwujudkan dalam bingkai "Profesionalisme Profesi".

ARTIKEL TENTANG PRODUKTIVITAS

Mengangkat Produktivitas Fasilitator
Ketika menjadi seorang fasilitator, saya cukup berbangga, karena saat itu saya memiliki empat orang teman fasilitator, yang secara waktu memiliki loyalitas dan komitmen yang teruji. Loyalitas dan komitmen adalah nilai plus. Namun itu bukan hal yang utama. Ada hal yang lebih penting daripada sekedar loyalitas dan komitmen. Apakah itu Produktivitas?
Tanpa produktivitas, loyalitas dan komitmen jadi tidak ada artinya. Jika seorang fasilitator sangat produktif dan memberikan kontribusi yang sangat berarti bagi suksesnya program PNPM Mandiri Perkotaan, terlebih untuk masyarakat dampingan kita, kepuasan dalam bekerja akan menjadi miliknya, bahkan dinikmati banyak orang.
Bagaimana caranya agar seorang fasilitator bisa produktif dalam pekerjaan pendampingannya? Di sini saya tidak bermaksud untuk menggurui Anda, tetapi hanya suatu upaya berbagi pendapat, yang boleh-boleh saja tidak diterima kalau memang tidak sesuai dengan model dan/atau mungkin berbeda dengan cara yang Anda terapkan. Sekali lagi ini, hanyalah sedikit berbagi, dan mungkin bisa dipertimbangkan. Kita mulai secara berurutan:
1. Tetapkan Tolok Ukur (Standar Produktivitas)
Tanpa tolok ukur atau target, jelas kita tidak tahu apakah fasilitator produktif atau tidak. Setelah tahu standar produktivitasnya, seorang fasilitator harus berupaya untuk melakukan lebih dari yang diminta (lampaui target)
2. Fokus Dalam Bekerja
Jika fasilitator tidak fokus dalam bekerja, tidak mungkin produktif. Coba perhatikan hal-hal apa saja yang membuat fasilitator tidak fokus. Misalnya tidak serius, tidak mencintai pekerjaan dan kurang memiliki inisiatif. Itu mungkin hanya sebuah contoh sederhana.


3. Jangan Terlalu Perfeksionis
Kesempurnaan sebuah hasil adalah bagus, tapi menjadi masalah jika itu membuat kinerja fasilitator tidak produktif. Kualitas memang harus, tapi kuantitas (produktivitas) juga harus diperhitungkan.
4. Jangan Menunda
Dengan kita menunda sebuah pekerjaan, sebenarnya waktu penyelesaian pekerjaan itu sendiri akan membengkak lebih lama. Tentu saja hal ini akan berimbas pada minimnya produktivitas.
5. Lebih Smart Dalam Bekerja
Ada banyak fasilitator yang rajin saat bekerja, meski demikian hasilnya tidak maksimal juga. Biasanya hal ini dikarenakan fasilitator tersebut tidak menemukan cara yang efektif untuk meningkatkan produktivitasnya, atau mungkin juga ia membuat pekerjaannya jadi lebih sulit dari yang seharusnya.
Jangan Malas
Agar menjadi fasilitator yang produktif, tentu kita harus mengubah sikap dan kebiasaan buruk itu. Perangi kemalasan dan jadilah fasilitator yang bekerja dengan lebih rajin. Terlebih dalam menghadapi perang dengan kemiskinan.
Semoga kita semua benar-benar menjadi fasilitator pendamping masyarakat yang produktif dan memiliki arti buat masyarakat, bukan hanya sebagai kewajiban memenuhi tuntutan manajemen

0 komentar: