ARTIKEL TENTANG PENELITIAN PROFESI
Antara Fasilitator, Guru dan Sertifikasi Profesi
Ada beberapa peristiwa penting yang mewarnai bulan Mei dalam sejarah dunia maupun bangsa yang besar ini, seperti:
a. Tanggal 1 Mei diperingati sebagai Hari Buruh Sedunia.
b. Tanggal 2 Mei diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional.
c. Tanggal 20 Mei diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional.
d. Pun "Tragedi Berdarah Mei 1998" yang meruntuhkan rezim Orde Baru dan melahirkan orde reformasi hingga kini, terjadi di bulan Mei.
Agar tidak melebar, berdasarkan judul tulisan saya di atas, maka yang akan coba saya bahas kali ini adalah mengenai dunia pendidikan, khususnya nasib para pelaku-pelakunya, yang meliputi profesi Fasilitator dan profesi guru, dikaitkan dengan sertifikasi profesi bagi keduanya.
Kenapa?
Karena, katanya, merekalah yang menjadi ujung tombak di lapangan dalam mengawal pendidikan formal maupun informal yang ada di masyarakat kita—walaupun dengan berbagai sebutan yang berbeda dan sesuai. Di tingkat formal, mulai SD, SMP sampai SMA, mereka dipanggil "Guru". Di tingkat mahasiswa, mereka dipanggil "Dosen". Di tingkat non formal, dalam model Pendidikan Orang Dewasa (POD), biasa dipanggil "Fasilitator"—kadang pula disebut sebagai Tenaga Pendamping Masyarakat (TPM), kadang pula instruktur/pelatih, hingga aktivis “L.S-Eng”.
Nah, cuman sedihnya, sejak zaman "Oemar Bakri" hingga kini profesi guru kadang masih dipandang sebelah mata. Masih menjadi pilihan terakhir bagi cita-cita anak-anak kita setelah dokter, tukang insinyur, presiden, pramugara ataupun pramugari Sukhoi maupun dosen. Padahal dosen kan guru juga?
Kalau Fasilitator atau TPM malah lebih sedih lagi. Di tingkatan konsultan malah dianggap profesi paling rendahan, sering dijadikan “kambing hitam” oleh orang-orang yang ada di atas. Jika target project atau program tidak tercapai, di tingkat masyarakat, Faskel malah sering diancam, diintimidasi, dan diusir karena tidak mau diajak sepakat dengan "kepentingan" para pemangku kebijakan di lapangan.
Terus, bagaimana dengan kesejahteraan mereka?
Ya. Kita akan tertawa sekaligus menangis melihat keberadaan mereka. Di satu sisi mereka—para "Guru"—disebut sebagai Pahlawan Tanpa Tanda Jasa. Diagung-agungkan dalam nyanyian anak2 sekolahan, dijadikan puisi, dihujani kata-kata yang indah dalam acara-acara perpisahan maupun selamatan anak-anak sekolah yang berhasil lulus. Begitupun para "Fasilitator". Ketika masyarakat berhasil melaksanakan pembangunan, ucapan terima kasih pun bertubi-tubi kepada mereka.
Tetapi, di sisi lainnya, ironis, di mana-mana kita lihat, guru-guru masih jualan, bekerja serabutan di sela kesibukan mereka mengajar. Ada pula yang menjadi tukang ojek saat pulang sekolah, atau memberikan les tambahan sore dan malam agar ada tambahan penghasilan bulanan. Hingga profesi buruh lainnnya pun dilakoni.
Fasilitator juga, kurang lebih demikian; menjalani "profesi ganda” atau double job terpaksa dilakoni agar teuteup bisa bertahan hidup, menghidupi keluarganya, karena gaji pas-pasan. Di sisi lain, mereka mencoba menjaga integritas, (utamanya) ketika mengawal uang miliaran rupiah buat masyarakat. Agar tak bisa “dibeli” dengan iming-iming fee dari pihak-pihak/oknum-oknum yang menjual kemiskinan atas nama masyarakat. Pun, jika program tersendat atau macet, maka hujatan, cacian dan makian harus siap disematkan bagi mereka.
Sudah begitu, waktu kerja tidak menentu, karena mengikuti waktu luang masyarakat. Sementara itu, masyarakat mana pusing kalau persoalan administrasi harus mengikuti tahun anggaran, hingga terkadang keluar pagi pulangnya malam, tapi teuteup dianggap "tidak kerja", karena tidak kelihatan tetangga waktu pergi dan pulangnya.
Alhamdulillah, ketika adanya sertifikasi profesi bagi guru oleh pemerintah; begitu pula bagi Fasilitator, yang sementara ini tengah digodok di tingkat pusat, lahir harapan besar bagi perbaikan kesejahteraan mereka.
Sekarang, profesi "Guru" mulai kembali menjadi idola saat ini, karena iming-iming tunjangan sertifikasi yang diterima sebesar gaji mereka, yang akan dirapel setiap tiga bulanan. Walau proses sertifikasi belum semulus harapan berbagai pihak, bahkan masih ada protes atas siapa-siapa yang berhak mengikutinya dan keterbatasan anggaran pemerintah, sejauh ini titik terang kebangkitan kesejahteraan para guru mulai terlihat.
Contohnya, kini banyak guru yang mampu membeli mobil baru, rumah baru, insya Allah, perbaikan kesejahteraan sebanding dengan perbaikan mutu pendidikan bangsa ini. Amiiin
Lalu, bagaimana dengan fasilitator?
Walaupun sudah ada badan sertifikasi yang didirikan di Pusat dan oleh PNPM Mandiri Perkotaan di tingkat internal mereka, berdasarkan banyaknya pelatihan-pelatihan yang diikuti, sampai saat ini belum dirasakan geliatnya, bagaimana penerapannya di tingkat bawah. Selain minimnya informasi dari pihak-pihak di atas hingga menimbulkan ketakutan prosesnya nanti tidak transparan, banyak pula Fasilitator bingung: yang mana yang bisa disebut Fasilitator sebenarnya?
Apakah Fasilitator yang memiliki kontrak kerja sebagai Fasilitator, ataukah semua pekerja konsultan di proyek, ataupun program-program pemberdayaan yang ada mulai dari tingkat lapangan hingga team leader bisa disebut Fasilitator pula? Karena terkadang, ketika bertugas mengawal masyarakat, para pelaku di tingkat atas mengatakan, kerjakan tugas kalian sesuai tupoksi sebagai Fasilitator Teknik, Sosial dan Ekonomi di lapangan, seperti tertera di kontrak kerja yang kalian tandatangani!
Terus, kalau berdsar dari penafsiran kontrak kerja saja, kadang mereka tidak mengganggap sebagai Fasilitator, eeeh ketika muncul penilaian sertifikasi profesi tiba-tiba mereka mengaku-ngaku sebagai Fasilitator pula! Bah, kalau hanya melihat atas banyaknya pelatihan-pelatihan yang diikuti, otomatis orang-orang lama yang sudah menjabat di atas langsung lulus serifikasi dong? Sementara kita, yang di bawah, yang berdarah-darah, berkeringat dan bermandi air mata bercampur debu jalanan, akan terus dapat bagian yang paling sedikit pula jika sertifikasi diintegrasikan pada besarnya tunjangan maupun gaji yang ada. Nah lho?
Wooiiii, Tuan-tuan, gaji Anda sudah paling besaaar di atas sana! Sementara menginjak tanah berdebu saja kalian jarang. Eeeh.. kok pengen gajinya ditambah lagi oleh proses serifikasi?
Kalau mau "fair", mari turun ke lapangan.
Beri masyarakat "ruang" untuk memberikan penilaian atas nama kinerja dan profesionalisme yang kalian dengung-dengungkan dan doktrinkan kepada kami! Jangan selalu main belakang dengan alasan "sistemik". Laaaah, kaannn? (Prikitiuuwww...hihihi...)
By the way, anyway, busway.. Maaf, tulisan ini bukan untuk berburuk sangka ataupun mencari pembenaran liar. Mohon maaf jika "ada" yang tak berkenan, ya. Tapi, semoga dijadikan pertimbangan bagi para pengambil kebijakan di atas, agar saat memutuskan sebuah sistem yang menyangkut hak orang banyak bisa komprehensif melakukan uji kompetensinya, agar kesejahteraan bukan milik sebagian orang-orang dekat saja, dan keadilan atas nama "kerja sama dan bukan sama-sama kerja" bisa diwujudkan dalam bingkai "Profesionalisme Profesi".
Ada beberapa peristiwa penting yang mewarnai bulan Mei dalam sejarah dunia maupun bangsa yang besar ini, seperti:
a. Tanggal 1 Mei diperingati sebagai Hari Buruh Sedunia.
b. Tanggal 2 Mei diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional.
c. Tanggal 20 Mei diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional.
d. Pun "Tragedi Berdarah Mei 1998" yang meruntuhkan rezim Orde Baru dan melahirkan orde reformasi hingga kini, terjadi di bulan Mei.
Agar tidak melebar, berdasarkan judul tulisan saya di atas, maka yang akan coba saya bahas kali ini adalah mengenai dunia pendidikan, khususnya nasib para pelaku-pelakunya, yang meliputi profesi Fasilitator dan profesi guru, dikaitkan dengan sertifikasi profesi bagi keduanya.
Kenapa?
Karena, katanya, merekalah yang menjadi ujung tombak di lapangan dalam mengawal pendidikan formal maupun informal yang ada di masyarakat kita—walaupun dengan berbagai sebutan yang berbeda dan sesuai. Di tingkat formal, mulai SD, SMP sampai SMA, mereka dipanggil "Guru". Di tingkat mahasiswa, mereka dipanggil "Dosen". Di tingkat non formal, dalam model Pendidikan Orang Dewasa (POD), biasa dipanggil "Fasilitator"—kadang pula disebut sebagai Tenaga Pendamping Masyarakat (TPM), kadang pula instruktur/pelatih, hingga aktivis “L.S-Eng”.
Nah, cuman sedihnya, sejak zaman "Oemar Bakri" hingga kini profesi guru kadang masih dipandang sebelah mata. Masih menjadi pilihan terakhir bagi cita-cita anak-anak kita setelah dokter, tukang insinyur, presiden, pramugara ataupun pramugari Sukhoi maupun dosen. Padahal dosen kan guru juga?
Kalau Fasilitator atau TPM malah lebih sedih lagi. Di tingkatan konsultan malah dianggap profesi paling rendahan, sering dijadikan “kambing hitam” oleh orang-orang yang ada di atas. Jika target project atau program tidak tercapai, di tingkat masyarakat, Faskel malah sering diancam, diintimidasi, dan diusir karena tidak mau diajak sepakat dengan "kepentingan" para pemangku kebijakan di lapangan.
Terus, bagaimana dengan kesejahteraan mereka?
Ya. Kita akan tertawa sekaligus menangis melihat keberadaan mereka. Di satu sisi mereka—para "Guru"—disebut sebagai Pahlawan Tanpa Tanda Jasa. Diagung-agungkan dalam nyanyian anak2 sekolahan, dijadikan puisi, dihujani kata-kata yang indah dalam acara-acara perpisahan maupun selamatan anak-anak sekolah yang berhasil lulus. Begitupun para "Fasilitator". Ketika masyarakat berhasil melaksanakan pembangunan, ucapan terima kasih pun bertubi-tubi kepada mereka.
Tetapi, di sisi lainnya, ironis, di mana-mana kita lihat, guru-guru masih jualan, bekerja serabutan di sela kesibukan mereka mengajar. Ada pula yang menjadi tukang ojek saat pulang sekolah, atau memberikan les tambahan sore dan malam agar ada tambahan penghasilan bulanan. Hingga profesi buruh lainnnya pun dilakoni.
Fasilitator juga, kurang lebih demikian; menjalani "profesi ganda” atau double job terpaksa dilakoni agar teuteup bisa bertahan hidup, menghidupi keluarganya, karena gaji pas-pasan. Di sisi lain, mereka mencoba menjaga integritas, (utamanya) ketika mengawal uang miliaran rupiah buat masyarakat. Agar tak bisa “dibeli” dengan iming-iming fee dari pihak-pihak/oknum-oknum yang menjual kemiskinan atas nama masyarakat. Pun, jika program tersendat atau macet, maka hujatan, cacian dan makian harus siap disematkan bagi mereka.
Sudah begitu, waktu kerja tidak menentu, karena mengikuti waktu luang masyarakat. Sementara itu, masyarakat mana pusing kalau persoalan administrasi harus mengikuti tahun anggaran, hingga terkadang keluar pagi pulangnya malam, tapi teuteup dianggap "tidak kerja", karena tidak kelihatan tetangga waktu pergi dan pulangnya.
Alhamdulillah, ketika adanya sertifikasi profesi bagi guru oleh pemerintah; begitu pula bagi Fasilitator, yang sementara ini tengah digodok di tingkat pusat, lahir harapan besar bagi perbaikan kesejahteraan mereka.
Sekarang, profesi "Guru" mulai kembali menjadi idola saat ini, karena iming-iming tunjangan sertifikasi yang diterima sebesar gaji mereka, yang akan dirapel setiap tiga bulanan. Walau proses sertifikasi belum semulus harapan berbagai pihak, bahkan masih ada protes atas siapa-siapa yang berhak mengikutinya dan keterbatasan anggaran pemerintah, sejauh ini titik terang kebangkitan kesejahteraan para guru mulai terlihat.
Contohnya, kini banyak guru yang mampu membeli mobil baru, rumah baru, insya Allah, perbaikan kesejahteraan sebanding dengan perbaikan mutu pendidikan bangsa ini. Amiiin
Lalu, bagaimana dengan fasilitator?
Walaupun sudah ada badan sertifikasi yang didirikan di Pusat dan oleh PNPM Mandiri Perkotaan di tingkat internal mereka, berdasarkan banyaknya pelatihan-pelatihan yang diikuti, sampai saat ini belum dirasakan geliatnya, bagaimana penerapannya di tingkat bawah. Selain minimnya informasi dari pihak-pihak di atas hingga menimbulkan ketakutan prosesnya nanti tidak transparan, banyak pula Fasilitator bingung: yang mana yang bisa disebut Fasilitator sebenarnya?
Apakah Fasilitator yang memiliki kontrak kerja sebagai Fasilitator, ataukah semua pekerja konsultan di proyek, ataupun program-program pemberdayaan yang ada mulai dari tingkat lapangan hingga team leader bisa disebut Fasilitator pula? Karena terkadang, ketika bertugas mengawal masyarakat, para pelaku di tingkat atas mengatakan, kerjakan tugas kalian sesuai tupoksi sebagai Fasilitator Teknik, Sosial dan Ekonomi di lapangan, seperti tertera di kontrak kerja yang kalian tandatangani!
Terus, kalau berdsar dari penafsiran kontrak kerja saja, kadang mereka tidak mengganggap sebagai Fasilitator, eeeh ketika muncul penilaian sertifikasi profesi tiba-tiba mereka mengaku-ngaku sebagai Fasilitator pula! Bah, kalau hanya melihat atas banyaknya pelatihan-pelatihan yang diikuti, otomatis orang-orang lama yang sudah menjabat di atas langsung lulus serifikasi dong? Sementara kita, yang di bawah, yang berdarah-darah, berkeringat dan bermandi air mata bercampur debu jalanan, akan terus dapat bagian yang paling sedikit pula jika sertifikasi diintegrasikan pada besarnya tunjangan maupun gaji yang ada. Nah lho?
Wooiiii, Tuan-tuan, gaji Anda sudah paling besaaar di atas sana! Sementara menginjak tanah berdebu saja kalian jarang. Eeeh.. kok pengen gajinya ditambah lagi oleh proses serifikasi?
Kalau mau "fair", mari turun ke lapangan.
Beri masyarakat "ruang" untuk memberikan penilaian atas nama kinerja dan profesionalisme yang kalian dengung-dengungkan dan doktrinkan kepada kami! Jangan selalu main belakang dengan alasan "sistemik". Laaaah, kaannn? (Prikitiuuwww...hihihi...)
By the way, anyway, busway.. Maaf, tulisan ini bukan untuk berburuk sangka ataupun mencari pembenaran liar. Mohon maaf jika "ada" yang tak berkenan, ya. Tapi, semoga dijadikan pertimbangan bagi para pengambil kebijakan di atas, agar saat memutuskan sebuah sistem yang menyangkut hak orang banyak bisa komprehensif melakukan uji kompetensinya, agar kesejahteraan bukan milik sebagian orang-orang dekat saja, dan keadilan atas nama "kerja sama dan bukan sama-sama kerja" bisa diwujudkan dalam bingkai "Profesionalisme Profesi".
0 komentar: